Vonis terhadap IB HRS dan Para Ulama akan Jauh dari Rasa Keadilan

Opini & Puisi

Ditulis oleh : Damai Hari Lubis

Tim Opini Hukum Mujahid 212

 

Akankah Vonis Keadilan sidapat dari Hasil Persidangan IB. Habib Rizieq Shihab dan Para Ulama Termasuk Para Aktivis, Melalui Sistem Acara Suka – Suka dan Terkesan Norak  serta Ugal – Ugalan?

 

( Sejak Proses Hukum Dimulai Keadilan Mesti Sudah Ditegakkan )

 

Pada fakta materil peristiwa pada sidang perdana, Selasa 16 Maret 2021 di PN. Jakarta Timur  secara terang benderang adanya  penolakan sistem persidangan yang telah ditentukan oleh Hakim dari Para Advokat dan Terdakwa IB HRS yang sangat berkepentingan  nasib daripada tuduhan, oleh sebab JPU tidak menghadirkan TDW hanya cukup melalui virtual dari aula mabes polri,  serta oleh Majelis Hakim justru JPU dengan pola ketidak hadiran  TDW diruang sidang a quo PN. Timur disetujui, dan diperkuat melalui alasan tidak dapat dihadirkannya Terdakwa di persidangan oleh sebab Perma 04/ 2020 dihubungkan oleh adanya  Pagebluk Virus  Corona 19 . Nah terhadap alasan ini nampak jelas ada unsur dualisme atau ambigu. Pertanyaannya kenapa faktor Prokes ini tidak digunakan terhadap terduga pelaku delik korupsi yang jelas memiliki mental menjijikan ( ekstra ordinary crime ) yakni seorang Polisi yang berpangkat Irjen yang dibolehkan hadir di ruang persidangan ? Kenapa  justru aturan prokes yang secara hukum hanya ius konstituendum, atau hanya diharapkan berlaku, justru seolah ius konstitum atau hukum positif, atau harus berlaku. Namun  hanya  terhadap  subjek hukum yang nota bene seorang tokoh ulama besar yang mengajak bangsa ini me- revolusi ahlak

 

Maka dihubungkan dengan fakta yang ada, argumentasi hukum hakim dan JPU yang telah melaksanakan agenda persidangan ngawur dan suka suka ini. Justru  kelak dapat  dijadikan salah satu dasar sebagai bukti notoire feiten ( bukti oleh sebab sepengetahuan umum )  kelak pada Hakim Banding, Hakim Kasasi bahkan Hakim Agung pada saat kasasi maupun PK atau herziening, oleh sebab peristiwa sistem acara persidangan yang suka suka atau ugal-:ugalan dan brutal ini telah dipersaksikan oleh umum, bahwa tehadap TDW IB HRS sebagai pesakitan tidak diberikan Kursi Duduk yang  semestinya oleh Majelis Hakim PN. Jakarta Timur sejak sidang perdana, dengan alasan adanya Prokes Covid 19, namun Majelis Hakim pada kenyataannya walau telah diprotes keras sampai dengan Walk Out / WO dengan beberapa dalil hukum dan komparatif, oleh pengacaranya IB HRS selaku TDW tetap kekeh  melangsungkan persidangan, disaksikan oleh puluhan juta bahkan ratusan juta mata melalui media elektronik yang akhirnya  ” sidang chaos ” sangat memalukan semua penegak hukum yang ada di tanah air dan bangsa ini dimata dunia

Baca Juga :  Representasi Perempuan dalam Film Horor Indonesia

 

Dimana keadilan akan ditemukan kalau sejak awal proses hukum pada persidangan ini sudah sedemikian rupa, sedangkan bila disandingkan dengan fakta terhadap pengunjung sidang dihadapan mata dan kepala Hakim sendiri  selain mereka anggota majelis  hakim, JPU dan Para Advokat duduk bahkan duduk rapat, dibanding Terdakwa justru akan duduk sendiri ditengah-ditengah ruang persidangan

 

Mengapa demi keadilan  TDW tidak dihadirkan dengan alasan Covid 19 ?  Sedangkan untuk pengunjung sidang dibolehkan duduk di kursi pengunjung dan mereka para pengunjung sidang lainnya bebas berada serta ada juga yang sambil bersenda gurau diluar luang sidang atau disekitar halaman dan  diluar pagar gedung pengadilan termasuk para aparatur negara

 

Maka bila nalar berfikir kita sehat atau setidaknya memiliki hati nurani pasti akan berpendapat pencaharian keadilan secara subtantif atau yang kebenaran yang sebenarnya ( materiele warheid ) di negeri ini tidak akan didapatkan

 

Oleh sebab metode sistem hukum yang digunakan yakni Perma No.20 Tahun 2020 menyimpang daripada sistem hirarkis perundang2an maupun materi pasal perundang- undangan yang ada dengan kata lain Perma a quo  bertentangan dengan undang undang yang lebih tinggi secara hirarkis/  formal maupun isi/ materi daripada  KUHAP / UU. No.8 Tahun 1981, sehingga hak TDW untuk hadir oleh Majelis dan JPU adalah sebuah tindakan boikot yang memalukan selain inkonstitusional,selain tidak memiliki moral atau jauh dari adab, dari mereka yang bahkan justru bisa menolak sistem tersebut oleh sebab kuasa atau kewenangan,namun mereka  tidak gunakan dalam proses mencari hakekat keadilan

 

Tentu tak dapat dinafikan pendapat subjektif dari masyarakat pemerhati penegakan hukum khususnya para ahli hukum ,  bahwa vonis yang dibuat nanti, cenderung akan melahirkan putusan yang sesat lagi menyesatkan

Baca Juga :  PADA WAKTU YANG LAIN

 

Secara sosiologis dari fenomena penegakan keadilan ala suka suka ini,  kenyataannya melahirkan skeptis atau pesimisme masyarakat hukum dan masyarakat pemerhati penegakan hukum dan para pencahari keadilan,  opini masyarakat meyakini berdasarkan peristiwa emperik yang ada lainnya maka putusan akan jauh dari rasa keadilan sesuai yang dicita-citakan, serta bertentangan dengan pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab

 

Sehingga opini hukum maupun pendapat masyarakat umumnya putusan terhadap IB. HRS, GUS NUR dan ALI BAHARSYAH serta SYAHGANDA NAINGGOLAN dan Menyusul Ulama – Ulama lain, diantarannya Kyai H. shibri Lubis, tidak akan mungkin vonisnya menyentuh rasa keadilan, karena peradilan yang berjalan sejak bergulir  tidak objektif melainkan ada unsur subjektif, sarat pesanan dari rezim.(*)

 

*Pesan moral Penulis :*

 

Selamat bertemu  dengan Sang Imam HRS kelak di Mahkamah Akhirat dan juga Kami Tentunya. (**)