Representasi Perempuan dalam Film Horor Indonesia

Opini & Puisi

Ditulis oleh: Heri Isnaini*

Film horor merupakan salah satu genre film yang hampir diproduksi di setiap negara, termasuk Indonesia.

Doea Siloeman Oeler Poeti en Item, yang merupakan film horor pertama Indonesia, diproduksi pada 1934.

Indonesia merupakan salah satu negara yang “aktif” dalam memproduksi film horor. Bahkan pada awal tahun 2000-an produksi film dengan genre horor di Indonesia secara kuantitas berkembang pesat, walaupun tidak berbanding lurus dengan kualitasnya.

Di Indonesia, film horor tak pernah bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Film horor yang pertama kali diproduksi di Indonesia, yakni Doea Siloeman Oeler Poeti en Item, memiliki tokoh utama perempuan dan seluruh bangunan ceritanya berpusat pada perempuan.

Film yang diproduksi pada tahun 1934 oleh The Teng Cun ini berkisah tentang siluman ular putih yang keluar dari gua pertapaannya kemudian menyamar menjadi seorang perempuan cantik.

Dalam perjalanan hidupnya, sang siluman ular kemudian jatuh cinta pada seorang pria, lalu keduanya melangsungkan pernikahan.

Pada 1970-an, ketika genre horor mulai laku di pasaran film Indonesia, sosok perempuan mulai menampakkan dominasi yang jelas.

Satu nama perempuan yang tak bisa dilepaskan dari kisah film horor tahun 1970-an adalah Suzanna.

Setelah dekade tahun 1970-an, artis perempuan masih terus menjadi tokoh utama dalam film-film horor.

Kisah-kisah film horor Indonesia pada tahun-tahun berikutnya terus-menerus menjadikan perempuan sebagai pokok utama cerita, seperti Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi Blorong (1983), Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Ratu Buaya Putih (1988), Pembalasan Ratu Laut Selatan  (1989), dan banyak lagi. Pada tahun 1990-an, sejumlah film seperti Misteri Permainan Terlarang  (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri di Malam Pengantin  (1993), Gairah Malam  (1993), Si Manis Jembatan Ancol  (1994), dan lain-lain.

Baca Juga :  MALAM TADARUS

Tidak hanya itu, film-film yang diproduksi tidak hanya dengan tema mistis dan horor, tetapi ditambah dengan “bumbu” erotisme, yang tentu saja tidak bisa dilakukan ketika diproduksi tayangan untuk televisi.

“Erotisme” film horor Indonesia sudah terlihat dari poster film di bioskop atau cover depan pada VCD/DVD. Hal ini dapat dilihat dari penentuan pemain (mayoritas perempuan dengan pakaian “seksi” dan perempuan yang sudah “terkenal” dengan keseksiannya), pose pemain, dan tulisan yang ada pada poster atau cover tersebut.

Di dalam wacana film bergenre horor Indonesia, perempuan diposisikan bukan sebagai “subjek” pengguna, melainkan sebagai “objek tanda” (sign object) yang dimasukkan ke dalam “sistem tanda” (sign system) di dalam “sistem komunikasi ekonomi” kapitalisme.

Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, semuanya menjadi fragmen-fragmen “tanda” di dalam media patriarki yang digunakan untuk menyampaikan “makna” tertentu. Semua fragmen-fragmen tanda ini menjadi “objek fetish” yang bersifat metonimi.

Artinya, semua fragmen tanda tersebut seakan-akan mewakili totalitas jiwa perempuan itu sendiri (seksual, hasrat, cinta, dan “dirinya”).

Gelora “hasrat” yang muncul dari fragmen-fragmen tubuh perempuan itu sendiri kini juga difragmenatasikan menjadi tanda-tanda.

Setiap potensi micro desire yang ada dimanipulasi dan dieksploitasi sedemikan rupa sehingga menjadi tanda-tanda dan akhirnya menjadi komoditas yang layak dan laku untuk dipasarkan.

Institusi film horor Indonesia dan perempuan kini menjadi dua hal yang sudah dikonstruksi “lumrah” dalam masyarakat yang sulit untuk dipisahkan. Tanpa kehadiran perempuan (“seksi” dan “sensual”) boleh dikatakan film-film horor di Indonesia menjadi hambar dan tidak menarik.

*Heri Isnaini, dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Siliwangi, sangat mencintai puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Heri aktif menulis pada jurnal ilmiah dan media. Sekarang Heri dan keluarga tinggal di Bandung, Jawa Barat. Heri dapat dihubungi melalui surel heriisnaini1985@gmail.com

Baca Juga :  Di Tengah Situasi Pandemi, Wartawan Menulis Jangan Berlindung Gunakan Kata Indikasi ataupun Dugaan