Sastra dan Dimensi Religiositas

Opini & Puisi

Ditulis oleh : Heri Isnaini *

“Pada awal mula, segala sastra adalah religius”. Pernyataan yang disampaikan Y.B. Mangunwijaya tersebut tersirat makna bahwa sastra diciptakan dari lubuk hati yang paling dalam. Sastra sebagai entitas pengalaman paling dalam seorang sastrawan telah membentuk kesadaran atas nilai-nilai hidup dan kehidupan. Nilai-nilai tersebut terejawantah dalam bahasa pada karya sastra yang diciptakan. Atas pijakan nilai-nilai tersebutlah sastrawan berusaha mengajak pembaca untuk memercayai sekaligus mengimani nilai-nilai tersebut.

Penciptaan sastra atas nilai-nilai dapat diindentifikasi sebagai pengalaman batin, pemahaman religius, dan penghayatan ruhani. Ketiganya mengacu pada dimensi religiositas yang bersifat personal dan individual. Oleh karena sifatnya yang sangat personal, dimensi religiositas ini hanya terjadi pada hati individu secara subjektif. Swami Ramdas, seorang mistikus India, berujar “Carilah di sebelah dalam, kenalilah dirimu. Isyarat-isyarat rahasia dan agung akan datang kepadamu”. Ramdas menyadari bahwa pengalaman individu berasal dari kesadaran di dalam hati yang tentu saja berimplikasi terhadap nilai-nilai kehidupannya. Lebih jauh lagi, Yahya bin Muadz Ar Razi, ulama sufi, menegaskan bahwa kesadaran dan pengetahuan akan Tuhan dimanifestasikan dengan ungkapan “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu”, yakni orang yang mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya.

Penjelasan-penjelasan tersebut semakin menguatkan bahwa kesadaran atas nilai-nilai dalam diri telah menjadi benih-benih kesadaran religiositas. Sementara itu, hubungan sastra dan religiositas dapat dirunut dari pemahaman atas teori evolusi religi E.B. Taylor. Berdasarkan teori tersebut, Taylor memaparkan bahwa pertama, manusia memiliki kesadaran adanya jiwa di dalam diri dan sekelilingnya; kedua, manusia percaya bahwa alam mempunyai jiwa (soul) yang dikenal dengan dewa-dewa; dan ketiga, manusia percaya bahwa jiwa (soul) atau dewa-dewa adalah titisan dari satu dewa yang Agung. Melalui teori tersebut, Taylor menemukan ada jembatan penghubung antara manusia dengan spirit dan soul. Penghubung tersebut diwujudkan dengan mantra, yakni kata-kata pilihan yang dianggap memiliki kekuatan dan daya sugesti untuk membantu komunikasi antara manusia dengan kekuatan di luarnya.

Baca Juga :  SEPILIHAN PUISI KARYA SULTAN MUSA *

Pembicaraan tentang mantra menjadi menarik dalam sudut pandang sastra. Mantra menjadi salah satu bentuk karya sastra dalam tradisi lisan dengan keunikan sendiri. James Danandjaja menyebutkan bahwa mantra termasuk ke dalam folklor lisan, yakni tradisi masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Wujud mantra adalah puisi lisan dengan nilai-nilai religiositas tinggi. Sementara itu, puisi adalah salah satu genre sastra. Dengan begitu, berbicara mantra adalah berbicara tentang puisi sebagai karya sastra.

Sutardji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya menyatakan “Menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera”. Artinya, pengalaman batin yang bersifat religius dapat diwujudkan dalam bentuk karya sastra, yakni dengan memanfaatkan kata sebagai bagian dari perwujudan nilai-nilai religius (mantra). Sastra dengan begitu dapat menjadi sarana atas kekayaan batin dan pengalaman religius. Dengan sastra, pembaca diajak menjelajahi nilai-nilai yang terwujud dari titik kulminasi penghayatan ruhani sastrawan sehingga pembaca mendapatkan saripati nilai-nilai religiositas darinya.

Dengan kata lain, sastra dan dimensi religiositas memiliki hubungan erat yang berkelindan, keduanya tidak dapat dipisahkan, saling melengkapi, yang tujuan utamanya memahami entitas diri secara utuh sehingga hidup dan kehidupan dapat dinikmati. Benar apa yang disampaikan Sapardi Djoko Damono “karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya”

Bandung, 26 Agustus 2021

• Heri Isnaini penggemar berat tulisan-tulisan Sapardi Djoko Damono. Sehari-hari bekerja sebagai Dosen Sastra, IKIP Siliwangi. Antologi puisi tunggal Heri, di antaranya: Ritus Hujan (2016), Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu (2019), dan Manunggaling Kawula Gusti (2020). Heri dan keluarga tinggal di Jalan Babakan Ciparay No. 320 RT 01/ RW 01 Bandung 40233. Heri dapat dihubungi melalui surel heriisnaini1985@gmail.com

Baca Juga :  DI PINGGANG TAMAN CINTAMANIS