Bencana Tanah Amblas Hantui Sepanjang Wilayah Pantura 

Nasional

JAWA TENGAH (RNSI/SMSI) – Pameo (sindiran) Semarang kaline banjir yang dicuplik dari penggalan syair lagu hits keroncong Jawa Jangkrik Genggong (1969), dan dipopulerkan penyanyi legendaris Waldjinah, belakangan ini menggema kembali.

Tak heran, pameo itu kembali terdengar dikarenakan belum lama ini sejumlah wilayah di Indonesia mengalami bencana yang diakibatkan sergapan banjir rob.

Diketahui, fenomena bencana banjir di Semarang terkesan soal yang biasa. Sekalipun berbagai upaya pengendalian banjir telah dilakukan.

Bahkan, peristiwa itu sudah menjadi langganan sejak masa kolonial Belanda, di pertengahan abad 19.

Dilansir melalui laman resmi Indonesia.go.id, Minggu, 5 Juni 2022, beberapa tahun belakangan, Pemerintah Kota Semarang, Pemprov Jawa Tengah, dan Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), gencar merevitalisasi segala sarana pengendalian banjir.

Mulai dari kanal-kanal kota dinormalisasi, kolam-kolam retensi dibangun, termasuk kolam-kolam polder lengkap dengan pompa airnya. Dua saluran drainase besar, Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur diperbesar kapasitasnya.

Namun, air belum sepenuhnya mampu dikendalikan.

Jika hujan besar turun, di kawasan hulu hingga hilir,  air masih meluap dan menggenang, utamanya di tempat-tempat yang rendah.

Sebagian wilayah Semarang berada di titik yang rendah. Banyak area pesisir yang elevasinya hanya +0,5 meter dari permukaan  air laut (normal), bahkan ada yang -2 meter.

Areal rendah itu kini terancam genangan dari dua arah, yakni dari laut dan dari langit (air hujan).

Kota Semarang dengan luas 375 km2 itu punya topografi yang unik. Sekitar 60 persen wilayahnya berada di kawasan berbukit-bukit. Bahkan, Kecamatan Gunungpati di ujung selatan berada pada elevasi 350 m dari permukaan laut.

Kaki-kaki perbukitan itu berada pada jarak sekitar 4–5 km dari garis pantai, kecuali di Semarang bagian timur yang kawasan rendahnya menjorok ke pedalaman sampai 10–11 km dari garis pesisir.

Dataran rendah itu luasnya 150 km2 (40 persen). Topografi yang  unik  itu terbentuk melalui proses sejarah yang panjang.

Berdasarkan berbagai informasi yang didapat, hampir semua kota di pesisir utara pulau Jawa dibangun di atas tanah aluvial yang rapuh.

Baca Juga :  Aktivis Perempuan Asal Kota Pariaman Jadi Ketua DPRD

Penurunan tanah tak terhindarkan, bahkan bisa 10 cm per tahun.

Sebagaimana  Sumatra, Kalimantan, dan banyak pulau lainnya di Indonesia.

Pulau Jawa terjelma pada akhir zaman es, sekitar 10 ribu tahun sebelum Masehi.

Selama zaman es berlangsung, air laut naik sekitar 120 meter.

Ketika itu, secara umum garis pesisir Pantai Utara Jawa jauh berada di sisi selatan dari garis pantai yang sekarang.

Proses sedimentasi membuat garis pantai bergerak ke arah laut.

Dari proses sedimentasi ribuan tahun itulah kemudian muncul lapisan tanah aluvial yang kini mendominasi hampir di sepanjang pesisir utara Jawa.

Melalui konferensi pers secara virtual online,  Selasa lalu, 31 Mei 2022, Plt Kepala Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan Kementerian ESDM, Edian Usman, banjir rob parah di sepanjang pesisir utara Jawa, utamanya terjadi di pantai Pekalongan, Semarang, dan Demak.

Edian Usman juga menekankan fakta, saat ini, dataran aluvial tanah pesisir itu mengalami fenomena yang sama, yaitu subsidensi.

‘’Sepanjang pengamatan kami, subsidensi di Pekalongan, Semarang, dan Demak itu terjadi dengan kecepatan yang cukup tinggi,’’ ujar Edian Usman, yang saat ini juga merangkap sebagai Sekretaris Badan Geologi  pada Kementerian ESDM.

Diterangkan Ediar, tanah aluvial, bersifat lunak. Ia terbentuk dari endapan lumpur yang terbawa dari arah hulu sungai-sungai besar mapun kecil, yang banyak terdapat di pantura.

Lumpur endapan itu muncul akibat erosi tanah di segenap penjuru daerah aliran sungai (DAS).

Lumpur mengendap di pantai dan bercampur lumpur yang terbawa gelombang laut ke arah pantai.

Di dalam lingkungan alam hujan tropis seperti Indonesia, material gambut (bahan organik) dari pembusukan mangrove dan vegetasi pantai di masa lalu, ikut membentuk dataran aluvial tersebut.

‘’Di beberapa tempat terus muncul daratan baru,’’ kata Ediar Usman.

Akan tetapi, di daerah budidaya (lahan permukiman, pertanian, urban, atau industri), pembentukannya terhenti, karena tak ada lagi tanah endapan.

Yang muncul kemudian, yakni fenomena pendangkalan pantai.

Fenomena air rob ini muncul ketika elevasi dataran aluvial itu sudah hampir sama dengan tinggi paras air laut, dan lebih buruk lagi bila sudah di bawahnya.

Baca Juga :  10 Tokoh Perempuan dan Lembaga Raih Penghargaan Inspiring Women 2022, Salah Satunya Premana W. Premadi

Ediar Usman menambahkan, amblesnya (subsidensi) muka tanah di pesisir itu umumnya karena tiga alasan.

Pertama, karena proses alamiah, yang mana tanah aluvial yang lunak itu mengalami pemadatan alias kompaksi atau konsolidasi.

Kedua adalah pengambilan air tanah. Dalam struktur tanah, air bisa menjadi pengisi rongga-rongga di dalam tanah, bahkan sampai ke rongga-rongga kapiler. Pengambilan air tanah membuat struktur tanah kehilangan bantalannya. Walhasil, proses kompaksasi tanah berjalan lebih cepat.

‘’Yang ketiga adalah beban di atas tanah. Ini faktor penting utamanya di daerah urban,’’ ujar Ediar Usman.

Rumah tembok, ruko, hotel, mal, perkantoran, jalan raya, jalan tol, struktur industri, serta banyak lainnya, ialah beban berat yang membuat struktur tanah lebih mampat dan ambles.

Banjir rob itu dampaknya meluas, karena dataran aluvial Pantura itu umumnya flat, rata, dengan tingkat kemiringan kurang dari 5 persen.

‘’Pekalongan, Semarang, dan Demak termasuk yang mengalami subsidensi cukup tinggi,’’ kata Ratna Susilowati, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Kementerian ESDM, yang menyampaikan paparannya bersama Ediar Usman.

Menurut Ratna, di Semarang ada tempat yang mengalami subsidensi dampai 9 cm per tahun.

‘’Tapi, rata-rata penurunannya 5,6 cm setiap tahun,’’ terangnya.

Di Pekalongan laju subsidensinya lebih rendah. Namun, karena prosesnya sudah lama terjadi, ancaman banjir rob di Pekalongan juga tidak bisa disebut ringan.

Fenomena subsidensi itu terus dipantau oleh Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan.

Tidak kurang dari 30 titik saat ini dalam pemantauan, hanya untuk sekitar Semarang.

Dari pantauan itu, menurut Ratna, terlihat adanya korelasi antara eksploitasi air tanah dan subsidensi, meski tak selalu sama polanya dari satu tempat ke tempat lain.

Di Pekalongan, katanya, ekspoitasi air tanah di pusat kota lebih besar dibanding di pesisiran.

Beban struktur bangunan juga lebih besar di pusat kota. Namun, laju subsidensi di pesisir lebih cepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa subsidensi lebih banyak dipicu oleh faktor alam.

Baca Juga :  Sebelas Desa di Rembang Zona Miskin Ekstrem, Pemkab Beri Pelatihan UMKM

Di Semarang sebaliknya.

Eksploitasi air tanah di pesisir cenderung lebih besar. Bahkan, tutur Ratna pula, muka air tanah akuifer yang terpantau dari sumur dalam telah turun 40 meter pada 10 tahun terakhir. Pengambilan air tanah mau tak mau harus disetop.

“Gunakan air permukaan,’’ katanya.

Subsidensi tanah dengan laju yang tinggi adalah fenomena umum di kota-kota besar di Indonesia.

Di Jakarta, pada titik yang ekstrem subsidensi bisa mencapai 8 cm per tahun. Di Cirebon kisarannya 0,3–4cm, Pekalongan 0,9–11 m, dan Surabaya 0,3–4,3 cm per tahun.

Kota Bandung pun subsidensi terjadi, karena kota kembang itu berada di atas tanah aluvial dari dasar Danau Bandung Purba yang mengering sejak 16 ribu tahun silam.

Daratan aluvial itu cepat terbentuk. Sekitar 500 tahun lalu, Kota Demak masih berada di tepi pantai Jawa dengan tumbuhan bakau di sekelilingnya, dan terpisah dari sebuah pulau kecil dan bulat yang berpusat pada Gunung Muria.

Namun, endapan lumpur membuat pulau itu menyatu ke Jawa.

Kini pulau itu menjadi bagian dari Kabupaten Jepara dan Kudus. Pada kurun yang sama, Kota Semarang pun menjorok maju sekitar 3 km ke arah laut.

Pesisir di Pekalongan, Semarang, dan Demak itu terbentuk dari tanah aluvial muda.

Bahkan, survei geologi pada 70 tahun lalu sudah menandainya dan menyebutnya unconsolidated sediment, tanah sedimen yang belum terkonsolidasi.

Tebalnya antara 30–50 meter. Proses sedementasi itu terjadi setidaknya sejak akhir jam es 12 ribu tahun silam.

Pada saat itu, pesisir di sana masih berupa pantai-pantai terjal di kaki pegunungan dengan laut yang cukup dalam.

Sedimentasi membuat terbentuk tanah pantai yang rapuh dengan laut yang dangkal di depannya. Subsidensi masih akan terus berlanjut.

Mau tidak mau, tanah pesisir itu harus dikelola dengan cara yang berbeda. Dia akan terancam genangan laten dari arah laut maupun darat. Faktor perubahan iklim akan membuat dampaknya makin berat. (Source : Indonesia.go.id/Putut Trihusodo/red)