Ditulis oleh : Ardiansyah
Ada yang menarik perhatian saya dalam dua hari belakangan ini.
Pasca reshuffle sejumlah pejabat fungsional di Pemerintahan Kabupaten Lampung Utara, beberapa waktu lalu, sejumlah media menyoroti tentang problematika dan penanganan sampah.
Persoalan sampah ibarat dua sisi mata uang. Meski memiliki nilai yang sama, namun tiap sisinya memiliki wujud yang berbeda.
Ya, di satu sisi, banyak pihak menginginkan daerahnya bebas dari sampah yang mencemari lingkungan. Dengan cara menuntut pemerintah untuk bekerja ekstra.
Namun, di sisi lain, aktifitas membuang sampah sembarangan menjadi satu pola hidup yang dianggap biasa-biasa saja.
Seringkali saya melihat, individu tertentu membuang sampah di aliran sungai besar di jembatan Kelurahan Sindangsari juga di beberapa aliran sungai lainnya di pelosok desa yang ada di Kabupaten Lampung Utara.
Meski di lokasi itu terpampang plang atau coretan dinding dengan bahasa verbal yang melarang untuk membuang sampah di lokasi-lokasi tersebut.
Kemudian, ada kesan hal yang lumrah membuang sampah di lahan kosong milik seorang warga dekat pemukiman yang padat penduduk, seperti yang ada di jalan Skalabrak, Kelurahan Kotaalam dan di beberapa tempat serupa lainnya.
Ada juga yang membuang sampah di pinggir area pemakaman umum.
Bahkan, meski ada bak pembuangan sampah sementara (kontainer) sejumlah oknum warga malas memasukkan sampah ke dalamnya.
Dalam satu kurun waktu tertentu, sampah-sampah itu pun menggunung disertai aroma tidak sedap. Bahkan kerap menjijikkan saat dipandang.
Jika sudah demikian, Pemerintah mendapat cercaan dari berbagai pihak. Terkesan tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal.
Sepertinya perlu ada jurus jitu dalam manajemen penanganan sampah di Bumi Ragem Tunas Lampung ini.
Pertama, Pemerintah melalui instansi terkait dipandang perlu untuk menambah armada dan ‘pasukan orange’ untuk berjibaku tanpa mengenal rasa lelah yang diimbangi dengan kompensasi, berupa honorarium dan jaminan kesehatan yang optimal.
Kedua, Pemerintah secara hirarkis terus menyosialisasikan dengan kontinyu kepada warga melalui perangkat kelurahan/desa untuk tidak membuang sampah secara sembarangan.
Ketiga, Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur yang maksimal berupa bak penampungan sampah sementara (kontainer) dengan mengetahui secara pasti data statistik jumlah sampah yang ada di kawasan tersebut dalam satu hari untuk kemudian dibawa ke tempat pembuangan akhir dalam kurun maksimal kapasitas bak sampah tersebut menampung sampah dari warga.
Keempat, Pemerintah, baik pihak eksekutif maupun legislatif, dipandang perlu membuat regulasi yang dapat memberikan efek jera bagi warga yang kedapatan membuang sampah tidak pada tempatnya, berupa denda ataupun konsekuensi hukum lainnya.
Kelima, (untuk sementara ini point interest yang terakhir), perlu ada penanganan dalam pengelolaan sehingga sampah dapat memberikan nilai tambah dari sisi perekonomian.
Misal, ada di satu desa, yang tidak perlu saya sebutkan di tulisan ini, membentuk bank sampah.
Warga di desa tersebut, diminta untuk membagi sampah rumah tangga menjadi dua bagian, yakni sampah dalam katagori sampah organik dan non-organik.
Sampah-sampah dalam bentuk non-organik, seperti kardus, plastik, diambil petugas kebersihan desa untuk kemudian dijual pada pengepul. Hasilnya, warga diberikan kompensasi berupa bebas pajak bumi dan bangunan (PBB) atau dalam bentuk lainnya.
Desa itu juga berinovasi dengan mengubah sampah-sampah plastik menjadi pavingblock yang kuat dan estetis.
Namun, jika dirupiahkan, pavingblock berbahan sampah plastik ini secara ekonomis masih jauh selisih harga jualnya dengan pavingblock berbahan baku semen dan pasir.
Kendalanya, sarana dan prasarana yang digunakan masih secara manual. Sehingga, memakan operasional yang cukup tinggi.
Jika Pemerintah Kabupaten Lampung Utara bersinergi dengan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, saya kira persoalan sarana dan prasarana tersebut dapat teratasi dan bisa menjadi pundi pendapatan asli daerah (PAD) yang dikelola melalui BUMD dan BUMDesa.
Lalu, sampah dalam katagori organik dapat dikelola menjadi pupuk kompos untuk tanaman juga bahan pakan hewan ternak, seperti Magot.
Dengan demikian, selain adanya kesadaran bersama untuk menerapkan pola hidup sehat disertai menjaga kebersihan lingkungan, juga perlu ada peraturan tegas bagi warga yang kedapatan membuang sampah sembarangan.
Untuk penegakan aturan tersebut, di tiap kelurahan/desa dibentuk satuan petugas anti sampah yang diberikan kewenangan penuh terhadapnya untuk menegakkan peraturan dimaksud.
Terakhir, dipandang perlu juga untuk membentuk kelompok kerja masyarakat yang ada di tiap kelurahan/desa untuk berinovasi mengolah sampah non-organik yang dalam prinsip dan sistem perekonomiannya dikelola melalui BUMD bersinergi dengan BUMDesa, seperti contoh membuat pavingblock atau jenis lainnya.
Bisa jadi hal ini mampu mengubah sampah menjadi lebih bermanfaat.
Pada akhirnya, siapa yang menanam, dia yang akan memanen hasilnya. (*)