Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi lalu Mengkritisi?

Opini & Puisi

Ditulis Oleh : Henri Subiakto *

Ini cerita kenapa saya dulu bela Jokowi. Lalu sempat netral awal 2023, berubah mengritisinya pasca keputusan MK nomor 90/2023.

Sebelum 2014, saya sudah hormat ke Pak Jokowi, pria sederhana dari rakyat kecil, yang sebelumnya pengusaha mebel, bisa sukses menjadi walikota. Menurut saya, Jokowi itu humble, tidak arogan, mau turun ke bawah menunjukkan kerja keras, hingga jadi simbol keberhasilan demokrasi dan reformasi.

Jokowi mendobrak kultur pemimpin Indonesia yang tak harus dari anak orang besar, terkenal, atau jenderal. Tak harus doktor, profesor, atau ulama. Rakyat kecil pun bisa jadi presiden.

Dimulai 2011, saat saya dan eselon 1 lain pergi ke Solo hadiri acara nasional. Jokowi sebagai walikota menyambut dan menemani nonton wayang di Puro Mangkunegaran hingga tengah malam.

Saya kagum pribadinya yang tak segan mengantar dan menemani tamu. Bahkan saat makan siang di Loji Gandrung bisa ngobrol akrab. Pak Jokowi guyon cerita tentang kondisi rumah peninggalan Belanda itu. Katanya, malam-malam dia pernah kaget melihat sosok wanita berbaju putih dengan rambut terurai. Sempat mau lari, tapi ‘gak jadi karena wanita itu memanggilnya. Ternyata sosok Bu Iriana.

Itu joke Pak Jokowi yang bikin akrab dan kagum. Terlebih di banyak media, ia diberitakan berhasil sebagai walikota maupun Gubernur Jakarta. 2013, saya bertemu ustad dari Solo yang dekat dengan Pak Jokowi. Kami sepakat menilainya sebagai pemimpin harapan masyarakat untuk masa depan. Saking percayanya, kami mengajak ulama besar, KH Hasyim Muzadi untuk mendukung Pak Jokowi. Bekalnya husnudzon lihat front stage-nya. Terlebih di awal-awal pemerintahannya jadi simbol toleransi dan anti radikalisasi. Jokowi juga simbol perubahan ekonomi dan revolusi mental yang dia canangkan.

Baca Juga :  Peran Penting Teknologi Atasi Persoalan Limbah Makanan

Pembangunan infrastruktur terlihat massif dan bagus. Rakyat bisa merasakan. Tapi ternyata, dengan berjalannya waktu, hal-hal yang dulu tersembunyi pun terbuka. Mulai dari mobil Esemka, hingga keluarga yang katanya tak tertarik politik, ternyata ikut pilkada. Katanya hanya berbisnis martabak dan pisang, ternyata berpolitik dan punya saham di mana-mana. Jokowi berubah jadi vigur yang sangat berkuasa dan mengajukan sanak keluarganya.

Back stage Jokowi terbuka. Detail ekonomi disorot ahli tak seindah diberita. Termasuk proyek-proyek besar infrastruktur menyimpan banyak hutang dan kerugian BUMN Karya. Juga ketergantungan yang parah pada mancanegara.

Transformasi digital yang menopang ekonomi rakyat terjadi tanpa penguatan kedaulatan. Deindustrialisasi yang membawa gelombang pengangguran sempat tertolong platform digital. Tapi celakanya, kita makin tergantung asing khususnya AS dan China.

Fakta paling mengecewakan itu ketidakjujuran Jokowi dalam berdemokrasi. Dia menata perangkat politik dan hukum untuk melanggengkan kekuasaan. Menyiapkan dinasti untuk mengganti. Menundukkan elit-elit politik dengan kasus-kasus hukum. Lewat KPK, jaksa dan terutama oknum polisi. Law as a tool of political engineering.

Jokowi terlihat flip flop, tak jujur, hipokrit, hingga khianati partai dan orang-orang yang membantunya. Puncaknya, keputusan MK yang merusak tatanan negara terjadi demi anak yang blm cukup usia. Perilaku nir-etika itu seakan menjadi hal biasa dan contoh dalam berpolitik bagi anak bangsa.

Politik dramanya membuat Indonesia dinilai para pengamat sbg negara authoritarian democracy atau fake democracy yang banyak mengandalkan kekuatan kapital atau oligarkh. Ini yang membuat ada kewajiban moral bagi kami akademisi untuk mengingatkan sekaligus mengungkap kebenaran. Bagi kami mengritik dan mengoreksi itu tak semata untuk dia, melainkan demi kebaikan bangsa dan negara supaya sadar tidak terlalu percaya pada permainan drama.

Baca Juga :  Babeh Jalaludin, MP, Jabat Plt. Sekda, Diharapkan Pesisir Barat Bertambah 'Moncer'

Jadi kekritisan saya itu bagian dari rasa sayang untuk menjaga kewarasan berbangsa dan bernegara. Ini beda dengan para pembencinya. Bagi saya, ini bukan kekecewaan pribadi. Bukan pula kebencian sejak awal, melainkan kewajiban etis dan intelektual untuk ikut menciptakan kesadaran dan kecerdasan dalam berpolitik di negeri tercinta. Jangan sampai perusakan demokrasi sekarang ini berdampak buruk hingga ke anak cucu kita. **

Catatan redaksi: tulisan ini diambil dari akun @herisubiakto di media sosial X, pada Minggu, 21 April 2024.

* Prof. Dr. Drs Henri Subiakto, SH, MA, lahir di Yogyakarta, 29 Maret 1962. Merupakan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga sejak 2015. Alumni Program Doktor Ilmu Sosial Unair (2010). IBT (Telecommunication) Policy Program in Information and Communication University (ICU), Daejon Republic of Korea (2008), International Fellow, on Short Course of Advance Research for Communication, di Edith Cowan University, Perth Australia (2006), Curricullum on Journalism awarded by US Department of State (2003), Alumni PAI London UK (2000). Alumni Pascasarjana Komunikasi UI (1996). Alumni Fakultas Hukum UII (1987). Alumni Jurusan Komunikasi Fisipol UGM (1987). pada tahun 2013 sempat menjadi Komisaris PT Metra Digital (Telkom Group), Tahun 2007 menjadi Komisaris utama (Ketua Dewas) Perum LKBN. dan Menjadi Staf Ahli kementerian Komunikasi dan Informatika RI sejak 2007.

Loading