Ditulis oleh: Heri Isnaini*
ceuk galur carita, anjeun téh anak kuring
kiwari kuring bét bogoh ka anjeun, tapi anjeun
teuing di mana?
(menurut alur cerita, engkau itu anakku
kini aku malah mencintaimu, tapi engkau
entah di mana?)
(Soni Farid Maulana)
Kutipan puisi karya Soni Farid Maulana menunjukkan kesungguhannya mendalami konsep cinta. Konsep ini seakan menjadi bagian dalam tatanan bangunan besar yang dia bangun sedikit demi sedikit, setahap demi setahap dalam balutan diksi yang kuat. Beberapa puisi yang ditulis dalam bahasa Sunda menyiratkan konsep cinta yang secara implisit merupakan bagian dari usahanya membangun bangunan besar tersebut.
Soni Farid Maulana salah satu penyair “ulang alik”, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono, yakni penyair yang bisa menulis dalam dua bahasa, dalam dua kebudayaan, dan dalam dua tradisi berbeda. Soni adalah penyair yang mampu menulis berbagai genre sastra, yakni puisi, prosa, dan esai. Kemampuan tersebut tentu saja harus dimiliki oleh orang yang “jenius”. Kemampuan yang tidak dapat dimiliki banyak orang. Hebatnya lagi kemampuan itu diwujudkan pula dalam bahasa ibunya, yakni bahasa Sunda.
Soni dilahirkan di kota berbahasa dan berbudaya Sunda, Tasikmalaya, pada tanggal 19 Februari 1962. Puisi-puisi Soni diterbitkan di berbagai media massa, seperti Pikiran Rakyat, Horison, Media Indonesia, Tempo, Kompas, dan Jurnal Puisi. Selain itu, beberapa puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Orientierungen (2000) dan bahasa Belanda, Winternachten (1999). Dalam bahasa Indonesia, puisi-puisi Soni dikumpulkan dalam antologi Variasi Parijs van Java (2004); Secangkir Teh (2005); Sehampar Kabut (2006); Angsana (2007a); Opera Malam (2008b); Pemetik Bintang (2008c); Mengukir Sisa Hujan (2011); dan sebagainya. Kehebatan “ulang alik” Soni dibuktikan dengan terbitnya antologi puisi dalam bahasa Sunda, yakni Saratus Sajak Sunda (1992); Sajak Sunda Indonesia Emas (1995); Antologi Puisi Sajak Sunda (2007b); Kalakay Méga (2007c); dan Angin Galunggung (2008a).
Kehebatan “ulang alik” ini yang menjadikan puisi-puisi Soni selalu fresh dan prismatis. Dengan kata lain, semua tema yang dihadirkan pada puisi-puisi Soni dapat mewujud dalam diksi bahasa Indonesia dan juga dalam diksi bahasa Sunda. Keduanya, tentu saja akan memperkaya khazanah perpuisian di Indonesia. Kekayaan yang juga merepresentasikan ide-ide dan tema-tema yang diusung Soni. Kekayaan ini saya temukan dalam puisi-puisi yang bertema legenda dalam budaya dan tradisi Sunda, tanah kelahiran Soni. Tradisi, budaya, legenda, dan dongeng Sunda secara tidak langsung adalah bahan-bahan yang memperkaya puisi-puisi Soni yang penuh dengan cinta.
Cinta Soni Farid Maulana terhadap puisi adalah cinta yang tidak asal-asalan. Cintanya bermula jauh sekali. Perkenalannya dimulai sejak Soni kecil yang sering diajak oleh nenek tercinta pada acara-acara pasamoan Tembang Cianjuran. Hal ini menjadi penting dalam perjalanan kepenyairan Soni. Perjalanan kepenyairan Soni tidak bisa dilepaskan dari pengalaman puitiknya sedari kecil dan pengalaman berbahasa sehari-hari. Dalam mengungkapkan pengalaman puitiknya, Soni menggunakan bahasa dalam proporsi yang pas, tidak kurang tidak lebih. Sesuai takaran.
tujuh bangkarak parahu diusap lambak
di basisir hate. Imut layung
luhureun pucuk kalapa lir pupuh asmarandana
(tujuh bangkai perahu menyapu ombak
di tepi hati. Lembayung indah
di atas pucuk kelapa seperti pupuh asmarandana)
Bait puisi tersebut digunakan dalam bahasa yang pas sesuai dengan takarannya yang tepat. Metafora “perahu”, “hati”, “lembayung”, dan “pupuh” menjadi takaran yang pas. Kita dapat memahami diksi-diksi tersebut sebagai diksi cinta. Bagaimana takaran yang pas digunakan dalam memahami asosiasi perahu (bahtera, kapal, alat transportasi air) yang terdampar ombak hingga ke pesisir “hati”, terdamparnya perahu tersebut ditemani oleh keindahan lembayung (senja) di atas pucuk kelapa seperti pupuh asmarandana. Takaran ini menjadi bagian yang mengejawantah konsep puitik Soni dalam menafsirkan cinta secara implisit. Pupuh asmaradana yang digunakan dalam bait tersebut menandakan kemampuan puitiknya dalam menimbang dan menakar diksi secara tepat. Pupuh merupakan puisi tradisional Sunda yang memiliki aturan ketat pada rima dan suku katanya. Asmarandana menjadi salah satu pupuh dari 17 pupuh yang bertemakan cinta kasih. Dengan contoh tersebut dapat dikemukakan bahwa bahasa yang digunakan Soni dalam puisi adalah bahasa dalam komposisi yang pas sesuai takaran.
Selain itu, pandangan Soni terhadap bahasa yang dia nyatakan tidak hanya sebagai alat komunikasi, melainkan alat untuk mentransformasikan pikiran, gagasan, dan perasaan-perasaan estetik (Maulana, 2012: 209). Pandangan ini menjadi penting dalam mengungkap konsep puitik Soni dalam puisi-puisinya. Dengan bahasa, Soni mampu mengungkap dunia cinta dengan lebih dalam, lebih argumentatif, dan lebih estetik. Cinta adalah kata sifat yang sakral. Cinta dapat menjadikan seseorang menjadi nabi dan anak kecil secara bersamaan. Cinta menjadikan penyair mabuk dengan kata-katanya. Gibran (2017: 7) mengungkap cinta sebagai “bisikan yang harus diikuti ke mana pun walaupun pedang yang ada di baliknya akan menyakiti”. Keagungan cinta menjadi salah satu relasi yang dibahas oleh Soni.
Konsep tentang cinta menjadi menarik untuk dibahas dan dianalisis. Cinta memiliki tiga unsur utama, yakni keintiman, rasa ingin memperhatikan, dan kepercayaan. Ketiga unsur ini harus melekat kepada insan yang mencinta dan dicinta. Soni mencintai puisi dan dia buktikan cinta tersebut dalam karya-karyanya. Cinta Soni kepada puisi adalah cinta agung, cinta yang penuh pengorbanan, dan terkadang cinta terlarang. Konsep cinta yang dimunculkan Soni berkelindan dalam balutan cinta religiositas yang tinggi, penuh kesadaran dan kemanusiaan. Dengan demikian, wujud cinta Soni mengejawantah menjadi art of life yakni kesadaran manusia akan rasa cinta kepada sesama manusia, alam, dan cinta kepada Tuhan (Fromm, 1956: 17). Hal tersebut juga mewujud dalam kelekatan jiwa individu lain yang ditopang oleh perasaan saling mempertahankan sehingga keduanya saling mempercayai (Maharani, 2016: 21). Begitulah Soni menafsirkan konsep cinta dalam puisi-puisinya.
Pandangan cinta ini dapat kita temukan setidaknya dalam puisi-puisi yang bertema legenda tangkuban Perahu, cinta Sangkuriang kepada Dayang Sumbi. Dalam puisi-puisi yang ditulis Soni, semacam ada “kecemburuan” atas pengungkapan konsep cinta tersebut. Soni merepresentasikan cinta sebagai bagian sakral yang tidak dapat ditolak oleh manusia, dia hadir dalam balutan takdir Yang Maha Mencinta. Puisi “Dayang Sumbi” dapat memperlihatkan konsep cinta yang ditunjukkan secara tulus dan ikhlas. Berikut puisi dan terjemahan bebasnya.
Dayang Sumbi
ceuk galur carita, anjeun téh anak kuring
kiwari kuring bét bogoh ka anjeun, tapi anjeun
teuing di mana? Sanggeus mangréwu taun miang
tina tangkeupan kuring nu tatu ku jaman édan
hirup nyorangan geuning lir kalakay daun waru
diayun-ambing lambak jeung ombak kahirupan
nu tingjelegur di jéro dada. “Sangkuriang, hirup
kuring jeung anjeun teu weléh nyukang kapeurih”
2000
menurut alur cerita, engkau itu anakku
kini aku malah mencintaimu, tapi engkau
entah di mana? setelah ribuan tahun pergi
dari dekapanku yang terluka oleh zaman
hidup menyendiri ternyata bagai daun waru kering
terombang-ambing oleh ombak kehidupan
yang bergemuruh dalam dada. “Sangkuriang, hidupku
dan hidupmu selalu berselimut perih”
2000
Konsep cinta yang dibangun dalam puisi tersebut adalah konsep cinta tulus dan ikhlas. Cinta ibu kepada anaknya. Cinta yang tidak bisa dipudarkan oleh apa pun. Ada relasi yang menghubungkan konsep cinta tersebut, yakni konsep harmonisasi dan religiositas ketuhanan. Relasi ini menunjukkan bahwa Dayang Sumbi tidak bisa mengelak dari takdir Tuhan bahwa dia mencintai Sangkuriang sebagai anak dan sebagai liyan. ceuk galur carita, anjeun téh anak kuring kiwari kuring bét bogoh ka anjeun, tapi anjeun teuing di mana? (menurut alur cerita, engkau itu anakku
kini aku malah mencintaimu, tapi engkau entah di mana?). Sebagai Ibu, Dayang Sumbi menyadari bahwa Sangkuriang adalah anaknya, tetapi kini (setelah berpisah lama) Dayang Sumbi bét bogoh ka anjeun, walaupun pada akhirnya Dayang Sumbi mempertanyakan kembali, “tapi engkau entah di mana?. Semacam ada kekuatan yang tarik menarik dalam diri Dayang Sumbi untuk memosisikan cinta yang bersemayam dalam dirinya, yakni: cinta ibu, cinta birahi, dan cinta Tuhan. Ketiga kekuatan tersebut membentuk harmonisasi kosmis dan pengejawantahan atas konsep art of life-nya Erich Fromm.
Ketaksaan cinta yang dimaksudkan Soni dalam puisi tersebut adalah cinta yang tumbuh dan berkembang dalam ranah arus bawah sadarnya, yakni cinta hakiki yang bermuara pada Tuhan. Saya berpendapat bahwa sebenarnya Soni telah mengajarkan kita akan arti cinta melalui puisi. sependapat dengan hal tersebut, pendapat Y.B. Mangunwijaya (1988: 11) yang mengatakan bahwa “Pada awal mula, segala sastra adalah religius”. Ungkapan ini dapat dimaknai sebagai kesadaran manusia akan cinta kepada Tuhan secara dalam dan lebih jauh di lubuk hati.
Cinta ini yang diberikan Soni misalnya pada puisi “Sangkuriang”. Berikut puisi lengkapnya.
seug anjeun lain indung uing, Dayang Sumbi
kiwari anjeun geus dikawin ku uing. Apan ngawin
indung téh matak dosa, kitu ceuk paraulama. Tapi,
naha anjeun méré jalan ka uing pikeun ngambah
galura rusa? Kuring teu yakin, cinta atawa napsu
nu harita nyaliara di jero dada? Di jomantara
langit ceudeum lain jawaban sanggeus angin nyéak
tina congo waktu. Tik-tek wéker milang tetengger
2000
jika engkau bukan ibuku, Dayang Sumbi
kini engkau sudah kunikahi. bukankan menikahi
ibu memintal dosa, begitu kata ulama. Tapi,
mengapa engkau memberiku jalan untuk menjejak
gelora rasa? Aku tak yakin, cinta ataukah napsu
yang saat itu merasuki dada? Di angkasa
langit mendung bukan jawaban setelah angin berhembus
di ujung waktu. Tik tok jam weker menghitung tanda
Kesadaran Sangkuriang atas rasa cinta kepada Dayang Sumbi diwujudkan dengan larik /seug anjeun lain indung uing, Dayang Sumbi kiwari anjeun geus dikawin ku uing. Apan ngawin indung téh matak dosa, kitu ceuk paraulama/ (jika engkau bukan ibuku, Dayang Sumbi kini engkau sudah kunikahi. bukankan menikahi ibu memintal dosa, begitu kata ulama). Kesadaran Sangkuriang atas rasa cinta yang bergelora di dadanya adalah representasi atas kemampuan Soni menunjukkan nilai-nilai religiositas dalam puisi-puisinya.
Religiositas bukan berarti hanya sekadar ketaatan ritual, ibadah formal belaka, melainkan lebih dalam dan mendasar dalam pribadi manusia. Al-Ma`ruf (2012: 105) berargumentasi bahwa religiositas lebih melihat pada aspek batin, pada dimensi ruhani di lubuk kalbu, riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain karena menyangkut batiniah. Oleh karena sifatnya yang sangat personal, pengalaman religius adalah pengalaman yang terjadi dalam hati masing-masing individu yang subjektif. Artinya, pengalaman ini sesuai dengan pernyataan Swami Ramdas, mistikus India yang dikutip oleh Muzairi (2014: 52) “Carilah di sebelah dalam, kenalilah dirimu. Isyarat-isyarat rahasia dan agung akan datang kepadamu dari hembusan nafas para resi melalui debu berabad-abad”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pengalaman religius berada sangat dekat pada diri individu masing-masing.
Argumentasi yang dikemukakan menguatkan bahwa Soni dengan tokoh-tokoh dalam puisinya (Sangkuriang dan Dayang Sumbi) berkelindan rasa cinta dengan konstelasi cinta hakiki, cinta Illahi, Cinta ketuhanan. Hal ini yang menjadi bukti bahwa Soni memiliki nilai rasa religiositas yang tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Underhill (2007: 2) yang menjelaskan bahwa “Mysticism is the art of union with reality. The mystic is a person who has attained that union in greater or less degree; or who aims at and believes in such attainment”. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa nilai-nilai religius dan mistik adalah “art”, seni tentang kemanunggalan terhadap realitas dan orang-orang yang mempercayai akan pencapaian tersebut. Inilah wujud cinta Soni, cinta berwujud seni dengan ejawantah nilai-nilai religius.
Cinta Soni, Sangkuriang, dan Dayang Sumbi menjadi penting karena konsep cinta ketiganya begitu dominan. Diksi-diksi: bogoh, kuring jeung anjeun, kawin, (cinta, aku dan engkau, nikah) menjadi dominan ketika diwujudkan dalam bentuk determinacy dan typification. Keduanya akan menunjukkan bahwa makna kata dapat diwujudkan kembali dan dapat diteruskan kepada orang lain (Hirsch, 2000: 65-71). Wujud diksi-diksi inilah yang menunjukkan konsep cinta yang begitu luas dan begitu dalam pada puisi-puisi Soni.
Dalam bentuk puisi, nilai-nilai estetik puisi-puisi Soni memiliki ciri yang khas. Puisi-puisi Soni mengutip istilah dari Umar Junus (Waluyo, 1987: 22) yaitu: mantra, pantun dan syair. Selain itu, klasifikasi bentuk akan menggunakan bentuk klasifikasi blank verse dan free verse. Bentuk blank verse menunjukkan kebebasan dari keteraturan formal dalam penulisan puisi. Blank verse dijelaskan oleh Bradford (2005: 20) sebagai bentuk yang dianggap campuran puisi dan prosa. Untuk hal ini, Richard Bradford memberikan contoh blank verse dalam puisi Robert Browning, khususnya “The Ring and the Book”
So
Did I stand question and make answer, still
With the same result of smiling disbelief,
Polite impossibility of faith.
(Bradford, 2005: 20)
Sementara itu, free verse dapat dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu: puisi yang memiliki keberlanjutan unsur-unsur puisi tradisional, terutama melalui rima dan tekanan; puisi yang mencerminkan spontanitas, pembagian baris puisi digunakan sebagai proses pengubahan pikiran, kesan, dan pengalaman; serta puisi yang tidak menghalangi fungsi sintaksis (Bradford, 2005: 20-22). Perwujudan bentuk puisi-puisi Soni sesuai argumentasi tersebut dapat dilihat pada salah satu kumpulan puisinya yang berbahasa Sunda, Angin Galunggung (2008a). Kumpulan puisi ini terdiri atas 4 bagian. Bagian 1 “Cangkang Daging” yang ditulis antara tahun 1990-1994, bagian ini memuat 20 puisi. Bagian 2 “Syair Kembang Kangkung” yang ditulis antara tahun 1994-1999, bagian ini memuat 21 puisi. Bagian 3 “Dongeng Simpé” yang ditulis antara tahun 2000-2004, bagian ini memuat 16 puisi. Bagian 4 “Mikung” puisi-puisi yang ditulis antara tahun 2005-2007, bagian ini memuat 16 puisi. Total puisi pada Angin Galunggung 73 puisi.
Akhirnya, saya melihat bahwa Soni mengejawantah konsep cinta agung, cinta hakiki, dan cinta religius pada puisi-puisi dalam bahasa Sunda tersebut. Konsep cinta ini menjadi bagian penting dalam perjalanan penulisan puisi Soni, khususnya dalam puisi berbahasa Sunda. Soni sebagai manusia “ulang alik” mampu menempatkan dirinya, ide-idenya, tradisinya, budayanya, dan idealismenya dalam dua bahasa yang sama-sama dikuasainya dengan baik. Sastra Indonesia sangat bangga memiliki pengarang “ulang alik” seperti Soni Farid Maulana”.
Bandung, 09 Januari 2025
(*) Heri Isnani lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Heri sangat menyukai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia. Antologi puisinya, Ritus Hujan (2016); Singlar Rajah Asihan: Kumpulan Sajak (2018); Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu (2019); Manunggaling Kawula Gusti: Kumpulan Sajak (2020); Montase: Sepilihan Sajak (2022). Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Beberapa media daring di Indonesia seperti Radar Utara, Restorasi News Siber Indonesia, Tebu Ireng Online, dan Bali Politika juga pernah memuat karya-karyanya. Kegiatan sehari-hari Heri adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Kota Cimahi. Selain itu, Heri juga banyak beraktivitas sebagai editor dan reviewer di berbagai jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri. Heri dapat dihubungi melalui surel [email protected]