Penulis: Heri Isnaini (*)
Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk sosialisasi terpenting karena memberikan gambaran tentang perempuan yang tepat dan sah. Dalam perjalanannya, pergerakan ini melahirkan “kritik sastra feminis”. Perhatian kritis dari kritik sastra feminis ditujukan pada buku-buku karya penulis laki-laki yang mengonstruksi citra perempuan dengan tujuan melanggengkan ketidaksetaraan seksual mereka. Dalam tulisannya, Toril Moi membedakan istilah feminist, female, dan feminine. Istilah pertama adalah sebuah “posisi politis”, yang kedua “berhubungan dengan biologi”, dan istilah ketiga didefinisikan sebagai “seperangkat karateristik yang didefinisikan secara kultural”. Ketiga istilah inilah yang kemudian menjadi salah satu sarana pemikiran dan pergerakan kritik sastra feminis, yang menurut saya telah dimulai juga oleh Kartini.
Pada tanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis surat kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar yang isinya berupa suara kartini yang merindukan sosok modern meisje yang selalu diangan-angankan kartini. “I have longed to make the acquaintance of a “modern meisje” that proud, independent girl who has all my sympathy! She who, happy and self-reliant, lightly and alertly steps on her way through life, full of enthusiasm and warm feeling; working not only for her own well-being and happiness, but for the greater good of humanity as a whole” (Kartini, 1921:3). Surat itu jelas merupakan impian Kartini mengenai sosok modern meisje yang sangat didambakannya, yakni perempuan merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus. Kartini meyakini bahwa perempuan dapat maju berkembang dan dapat unggul ketika perempuan menjadi sosok modern meisje.
Berangkat dari pemikiran Kartini yang revolusioner tersebut, seolah memicu ingatan kita pada konsep kesetaraan gender yang sangat santer didengungkan pada “pergerakan perempuan” tahun 1960-an di Amerika. Dari beberapa segi yang penting, pergerakan ini bersifat “sastrawi”. Artinya, pergerakan ini menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dan memandang bahwa sangat penting untuk melawan hal tersebut dengan mempertanyakan otoritas dan koherensinya.
Pemikiran-pemikiran Kartini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti hak untuk berpendidikan; hak untuk meperoleh kebebasan; hak untuk memilih jodoh; dan lebih jauh lagi adalah hak “berkedudukan sama” dalam struktur sosial masyarakat adalah pemikiran feminis yang lahir akibat tekanan yang dialami Kartini. Secara sadar Kartini melihat hal tersebut menjadi sebuah “penindasan” dan “penyiksaan” terhadap hak-hak perempuan. Melalui surat-surat yang dikirimkan pada Stella, sesungguhnya Kartini sedang berusaha mencoba mengadakan perlawanan terhadap kondisi yang menyudutkan kaum perempuan pada strata sosial masyarakat Jawa. Perlawanan yang dilakukan Kartini adalah dengan “tulisan”. Tulisan yang khas “perlawanan perempuan”. Kartini “sengaja” menggunakan bahasa Belanda sebagai bentuk “perlawanan” atas pengekangan dirinya. Melalui bahasa (bahasa Belanda) dalam suratnya, Kartini ingin memperlihatkan bahwa perempuan dapat melawan dengan “senjata” laki-laki, yakni Bahasa. Bahasa dalam surat-surat Kartini berisi pemikiran-pemikiran cerdasnya untuk kemajuan perempuan, khususnya di bidang pendidikan. Menurut saya, khayalan Kartini tentang modern meisje telah menjadikannya sosok feminis sejati. Setelah penjelasan singkat ini, saya akan mencoba membandingkan pemikiran Kartini tentang modern meisje dengan tokoh Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang dalam berbagai segi memiliki kesamaan, kesamaan dalam memandang perempuan, hidup, dan kehidupan. Komparasi ini dapat bermuara pada pembicaraan pergerakan kritik sastra feminis yang dimulai pada tahun 1970-an.
Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang berbeda dari prasangka umum. Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah laku, kemampuan menulis dan berbicara dalam Melayu, dan Belanda. Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet dan pantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Sosok Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi yang begitu kuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan mengelola sebuah perusahaan besar. Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak lain adalah budak, dihinakan oleh keluarga sendiri dan masyarakat baik pribumi, Indo, maupun Belanda Totok. Namun, ia menjadi wanita pribumi tangguh dengan mengandalkan alur hidup. Semua pengetahuan ia peroleh dari hidup.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, kita akan melihat konsep modern meisje yang ditawarkan Kartini melalui representasi perempuan pada tokoh Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pendedahan konsep ini akan dilihat melalui komparasi antara pemikiran Kartini, karakter Nyai Ontosoroh, dan pergerakan kritik sastra feminis. Dengan demikian, konsep perempuan yang ditawarkan dari komparasi tersebut dapat terlihat jelas.
Pemikiran Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial pd jaman itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (perikemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada Stella, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula. Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia Karya Pram
Bumi Manusia berlatar belakang kolonial Hindia Belanda, dan Minke yang merupakan tokoh utama adalah salah seorang pelajar pribumi yang bersekolah di HBS. Minke sangat pandai dalam menulis, tulisannya telah diterbitkan oleh Koran-koran Belanda pada saat itu yang membuat banyak orang terkagum-kagum. Minke digambarkan sebagai seorang yang berani melawan ketidakadilan dalam negerinya melalui tulisan-tulisannya. Minke bertemu dengan seorang perempuan cantik berketurunan Indonesia-Belanda yang bernama Annelise dimana pada akhirnya menjadi istrinya. Annelise merupakan anak dari seorang nyai yang dipanggil sebagai Nyai Ontosoroh.
Nyai pada zaman kolonial Hindia Belanda merupakan perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Memiliki status sebagai nyai membuatnya menderita karena tidak mempunyai hak asasi manusia yang sepantasnya. Meski seorang nyai melahirkan anak dari seorang Eropa, pemerintah Belanda tidak pernah mengangap perkawinan itu syah. Pemerintah Hindia Belanda hanya mengakui anak yang lahir tapi tidak perempuan yang menjadi gundik. Nyai Ontosoroh atau Sanikem adalah anak dari seorang juru tulis pada pabrik gula di Tulangan bernama Sastrotomo. Dia termasuk tipe laki-laki yang gila kuasa dan kekayaan. Dihormati karena satu-satunya orang yang mampu baca tulis di desa.
Sostrotomo bercita-cita menjadi seorang juru bayar, dia melakukan apa saja untuk mencapai cita-cita itu tak segan menjilat dan berkhianat. Sanikem dijadikan gundik atas kehendak ayahnya sendiri yang dijualnya pada seorang Belanda bernama Herman Mellema dengan imbalan gulden dan jabatan sebagai juru bayar. Semua itu tidak berarti bagi Sanikem yang telah merasa harga dirinya direbut. Ia dendam kepada orang tuanya, lantas ia berusaha bangkit dengan belajar segala pengetahuan Eropa agar dapat diakui sebagai seorang manusia.
Dia belajar tata niaga, belajar bahasa Belanda, membaca media Belanda, belajar budaya dan hukum Belanda. Sebab dia berharap pada suatu hari semua pengetahuan itu akan berguna untuk dirinya dan anak-anaknya. Nyai Ontosoroh berpendapat untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan dan sebagainya hanya dengan belajar.
Nyai Ontosoroh tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belanda tanpa cela, ia bahkan memimpin perusahaan keluarga. Menjadi ibu tunggal bagi Robert dan Annelies Mellema, juga bisa bersolek dengan necis layaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam tubuhnya. Nyai Ontosoroh berperan besar bagi Minke, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru. Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahi Annelies.
Konflik pun terjadi, suami Nyai Ontosoroh, Herman Mellema dibunuh. Statusnya sebagai penguasa pabrik goyah, dia sadar dirinya gundik yang tidak memiliki hak sedikit pun untuk memiliki perusahaan termasuk anaknya sendiri. Ia tak mau menyerah begitu saja, lantas bangkit melawan untuk mempertahankan haknya bersama Minke menantunya. Tapi apa daya sekuat apa pun melawan, Nyai Ontosoroh hanya seorang Nyai. Dia benar-benar tak berkutik di hadapan hukum kolonial Belanda.
Mereka kalah di hadapan peradilan kolonial Belanda. Annelies Mellema diambil oleh orang-orang Belanda. Minke kekasihnya tak mampu berbuat banyak. Semua orang melepas kepergian Annelies dengan duka. Melalui penggambaran Pramoedya Ananta Toer di atas Bumi Manusia melalui penggambaran tokoh Nyai Ontosoroh merupakan salah satu novel yang berhasil menyuarakan gabungan isu ideologis terhadap perempuan yang memperjuangkan haknya dalam bidang ekonomi, hukum, politik dan kehidupan sosial dalam dampak kolonialisme.
Kritik Sastra Feminis
Dalam kritik feminis 1970-an, upaya utama ditujukan pada pendedahan mekanisme patriarki atau cara berpikir kultural pada diri laki-laki dan perempuan yang melanggengkan ketidaksetaraan seksual. Feminisme menyatukan berbagai gagasan yang memiliki persamaan dalam tiga pandangan utamanya: pertama, gender adalah konstruksi sosial yang lebih menindas perempuan daripada laki-laki; kedua, konsrtruksi ini dibentuk oleh patriarki; ketiga, pengetahuan eksperensial perempuan adalah dasar bagi pembentukan masyarakat nonseksis di masa depan.
Kemudian di tahun 1980-an, ada perubahan dalam feminisme. Pertama, kritik feminis menjadi jauh lebih ekletik, artinya mulai mengambil bahan daritemuan dan pendekatan dalam jenis-jenis kritik lainnya (marxisme, strukturalisme, linguistik, dsb). Kedua, fokusnya dialihkan dari menyerang versi laki-laki atas dunia menjadi penyelidikan ciri-ciri dunia dan sudut pandang perempuan serta merekonstruksi catatan pengalaman perempuan yang hilang atau ditekan. Ketiga, perhatian dialihkan pada kebutuhan untuk mengonstruksi kanon tulisan perempuan yang baru dengan cara menulis ulang sejarah novel dan puisi sedimikian rupa sehingga penulis perempuan diutamakan. Elaine Showalter, misalnya, mendeskripsikan perubahan di akhir 1970-an sebagai pergeseran perhatian dari “androteks” (tulisan laki-laki) ke “ginoteks” (tulisan perempuan). Studi tentang “ginoteks” dan tema-tema tentang identifikasi perempuan adalah “ginokritik”.
Pada 1980-an, fokus utama feminis adalah bahasa. Tantangannya adalah membentuk ulang hubungan yang secara seksual ekspresif dan kuat antarbahasa, bentuk literer, dan jiwa laki-laki dan peempuan dengan mempertanyakan hubungan antara identitas gender dan bahasa. Para kritikus Prancis mengadopsi istilah ecriture feminine (tulisan feminin) untuk menjelaskan gaya feminine (yang tersedia baik bagi laki-laki maupun perempuan). Mereka menemukan “gaya” ini dalam ketidakhadiran, keterputusasaan, dan jouissance dalam tulisan modernis. Cixous, secara khusus berpendapat bahwa ecriture feminine dapat ditemukan dalam metafora-metafora mengenai perbedaan genital dan libidinal perempuan.
Kajian feminis mempertanyakan kembali nilai-nilai patriakal yang membedakan perempuan dan laki-laki yang telah lama, bahkan begitu lama, berlaku di masyarakat sehingga dianggap sudah sangat lumrah. Misalnya, traditional gender role atau peran jender tradisional mengharuskan laki-laki menjadi rasional, kuat, pelindung, dan pembuat keputusan yang baik dibandingkan dengan perempuan. Sementara perempuan diharuskan menjadi emosional (irasional), lemah, manja, dan penurut. Peran jender ini telah lama digunakan untuk menjustifikasi ketidakadilan. Misalnya tidak menyertakan atau menempatkan perempuan secara setara di dalam kepemimpinan atau proses pengambilan keputusan (di dalam keluarga, ranah politik, dunia akademik, dan dunia korporasi), dan meyakinkan perempuan bahwa mereka tidak cocok/mampu untuk menggeluti bidang ilmu atau pekerjaan tertentu seperti matematika atau keinsinyuran. Oleh karena itu patriakal bersifat sexist, yaitu “it promotes the belief that women are innately inferior to men.” Patriakal mendukung dan mempromosikan ide bahwa perempuan secara alamiah lebih rendah dari laki-laki dan inferioritas tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat berubah karena memang begitulah adanya semenjak perempuan dan laki-laki lahir. (Booker, 1996:89)
Feminis tidak memungkiri perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, malah banyak feminis merayakan perbedaan tersebut. Namun mereka menolak jika perbedaan biologis seperti ukuran dan bentuk tubuh semerta-merta menjadikan laki-laki secara alamiah superior dari perempuan (misalnya lebih cerdas, logis, dan lebih berani). Oleh karena itu feminis membedakan kata seks dan jender. Kata seks merujuk pada anatomi tubuh sebagai perempuan (female) dan laki-laki (male), sedangkan kata jender (gender) merujuk pada konstruksi budaya sebagai perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, “women are not born feminine, and men are not born masculine. Rather, these gender categories are constructed by society.” Perempuan tidak lahir dengan segala atribut feminine dan begitu juga dengan laki-laki tidak lahir membawa maskulinitasnya. Melainkan, femininitas dan makulinitas tersebut dikonstruksi oleh masyarakat.
Itulah pemikiran yang berkembang berkaitan dengan “perempuan“. Dalam kaitannya dengan bahasa. Ada pembedaan bahasa yang merunut pada masalah gender. Pembedaan tersebut sepertinya lebih membela “kekuasaan“ laki-laki dan memarjinalkan kaum perempuan. Perlu penelitian lebih dalam mengenai hal ini, tetapi sebagai contoh kecil, adanya pembedaan gender dapat dilihat pada kosa kata di beberapa bahasa di dunia, seperti pada bahasa Inggris, Arab, Perancis, Jerman. Pembedaan seperti ini mau tidak mau akan lebih melanggengkan “kekuasaan“ laki-laki terhadap perempuan.
Penggunaan kata ganti he dalam bahasa Inggris sebagai kata ganti yang lebih banyak digunakan daripada bentuk she. Demikian pula pada bahasa Arab, bentuk kata huwa lebih dominan digunakan daripada bentuk kata hiya. (dominan dalam arti tidak hanya untuk menyatakan kata ganti orang, melainkan juga untuk kata ganti benda yang lain).
Dengan kata lain, ada dilematis tersendiri bagi kaum feminis (laki-laki atau perempuan) yang mewakili kaum “liyan“ tersebut untuk mengekspresikan suara-suara mereka masuk ke dalam suara umum dalam masyarakat dengan perantara tulisan, seperti makan buah simalakama, pada saat tulisan mereka diterima oleh masyarakat, pada saat itu pula secara tersirat mereka mengakui pembedaan yang menyudutkan mereka. Pada akhirnya, secara tekstual perlawanan lewat tulisan seperti menegakkan benang basah, sesuatu yang sulit dilakukan, tetapi tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terwujud dengan syarat “benang“ tersebut telah kering. Artinya, harus ada upaya alternatif yang dapat menjadi alat untuk “mengeringkan benang tersebut“. Wahana “perlawanan“ kaum perempuan terhadap dominasi kegiatan “menulis“ laki-laki, sebetulnya telah lama digaungkan pada masa lampau. Perlawanan itu di antaranya dengan cara membuat tenunan atau tekstil. Menenun merupakan “perlawanan“ untuk dominasi “menulis“. Hal tersebut dapat dilihat, ketika laki-laki membuat tulisan (baik di daun, batu, lontar, dan sebagainya) kaum perempuan menenun “kain“ yang pada akhirnya dipakai pula sebagai “baju“ oleh laki-laki. Balasan yang setimpal sebetulnya.
Irisan Pemikiran
Kisah Nyai Ontosoroh berawal dari ayahnya yang sebelumnya hanyalah seorang juru tulis yang mendambakan jabatan yang lebih tinggi yaitu sebagai juru bayar. Banyak cara yang telah ditempuh ayahnya mulai dari menjilat dan merugikan teman-temannya sampai melalui dukun dan tirakat tapi usahanya menjadi jurubayar belum tercapai. Sanikem pada saat berumur tigabelas tahun mulai mengalami pingitan dan hanya tahu dapur, ruangbelakang dan kamarnya. Ketika berumur empat belas tahun Sanikem sudah dianggap oleh masyarakat sebagai perawan tua. Ayahnya mempunyai rencananya sendiri dengan menolak semua lamaran yang datang.
Begitulah keadaanku, keadaan semua perawaan waktu itu, Ann- hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang beruntung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluarbiasaan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelaki yang mengambil dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perempuan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki yang tidak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau pemabuk. orang takkan bakal tahu sebelumnya jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman. (Toer, 2011:119)
Tetapi dia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketidakberdayaannya menolak gundik (Nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema mendorong Nyai Ontosoroh untuk menyerap berbagai arus pemikiran Belanda, bahkan mengendalikan perusahaan milik tuannya, terlihat dari kutipan berikut ini.
Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtuaku sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai. (Toer, 2011:128)
Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sedrajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan harga diriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apa lagi semua itu. Papamu yang mengajariku, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud harga diri itu. (Toer, 2011:130)
….Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masa lalu lagi…. (Toer, 2011:134)
Berdasarkan kutipan di atas sangat jelas Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia adalah tokoh yang merepresentasi perempuan dengan konsep modern meisje yang disuarakan oleh Kartini. Setidaknya ciri-ciri modern meisje yang didambakan Kartini, seperti: perempuan merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus terepresentasi pada sosok Nyai Ontosoroh.
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas terlihat dari pelafalan bahasa Belanda yang fasih, menguasai banyak istilah-istilah Eropa, gemar membaca buku-buku Eropa, memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berdagang dan mampu menerangkan layaknya seorang guru-guru di sekolah.
Nyai Ontosoroh juga memiliki ciri-ciri sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa terbukti dari kemampuan tokoh perempuan dalam mengurus semua kepentingannya (dirinya, keluarga, dan perusahaan) sendiri, dia memiliki kekuatan dalam mengetahui dan mengendalikan pedalaman orang lain, tokoh yang berani menghadapi kekuasaan Eropa dan pengendali seluruh perusahaan.
Selain itu, Nyai Ontosoroh adalah tokoh perempuan memiliki ciri sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan terlihat dari berani mengambil keputusan untuk tidak mengakui orangtuanya, mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan untuk tetap dipanggil dengan sebutan Nyai bukan Mevrouw. Tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri sebagai perempuan mandiri terlihat dari sikap yang tidak bergantung dengan suaminya, tokoh yang dapat melakukan semua pekerjaan kantor dan perusahaan dengan tangannya sendiri, serta mampu mengurusi kepentingan dirinya, keluarga dan perusahaan dengan tangannya sendiri.
Gambaran-gambaran yang terepresentasi pada tokoh Nyai Ontosoroh tersebut adalah gambaran tentang konsep modren meisje yang disuarakan Kartini. Artinya, dari komparasi yang dilakukan ditemukan adanya irisan di antara ketiganya, yakni pemahaman terhadap representasi perempuan Indonesia yang merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus. Sesuai cita-cita Kartini, cita-cita yang sudah lama muncul, jauh sebelum pergerakan feminisme di Barat. Selain itu, konsep modern meisje Kartini dapat memberikan warna pemikiran baru kepada perempuan Indonesia dalam menghadapi persaingan ketat di masa yang akan datang.
Bandung, 22 Januari 2025
*Heri Isnaini lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Heri sangat menyukai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Caption: Heri Ismaini. Foto: dok.
Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia. Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Beberapa media daring di Indonesia seperti https://radarutara.bacakoran.co, https://restorasinewssiberindonesia.co, https://tebuireng.online, juga pernah memuat karya-karyanya.
Kegiatan sehari-harinya adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Cimahi. Heri dapat dihubungi melalui surel [email protected]