Tumpang Sari Sela Tanaman Sawit Peremajaan Kebun Rakyat   

Nasional

KALIMANTAN BARAT (RNSI/SMSI) – Sebagian dari pohon sawit yang ada di perkebunan sawit rakyat Kecamatan Ngabang, Landak, Kalimantan Barat, telah berusia lebih 30 tahun dan tak lagi produktif.

Mengatasi hal itu, beberapa pekebun ada yang mengikuti program peremajaan sawit rakyat (PSR), meskipun masih ada juga yang enggan mengikutinya.

Dari para pekebun yang mengikuti program peremajaan kebun sawit masih ada masalah, yang enggan ikut program pun punya bermacam alasan. Ada yang belum punya dana peremajaan karena bantuan atau hibah pemerintah hanya sekitar 50% dari keperluan biaya peremajaan kebun.

Ada juga yang hanya menfandalkan sumber pendapatan dari kebun sawit hingga sulit saat ikut peremajaan.

Sebagian warga yang ikut peremajaan dan ingin tetap peroleh pendapatan dari lahan yang sama, mereka siasati dengan menanam tanaman tumpang sari. Dengan begitu, saat masa tunggu sawit berbuah, mereka tetap mendapatkan penghasilan.

Heronimus Hero, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, mengatakan, satu-satunya cara meningkatkan produktivitas sawit dengan peremajaan, atau mengganti tanaman tua dengan yang baru.

Dengan ada program PSR yang memberi dana hibah kepada pekebun rakyat, jadi kesempatan baik untuk meningkatkan produksi sawit, sekaligus mencegah pembukaan lahan baru.

Tanaman-tanaman sawit ini mulai belajar buah. Di sela-sela pelepah, muncul buah-buah sawit kecil, biasa dikenal dengan buah pasir. Kebun sawit seluas dua hektar itu milik Frans, warga Desa Amboyo Selatan, Kecamatan Ngabang, Landak, Kalimantan Barat.

Sebelumnya, kebun sawit petani 41 tahun ini sudah berusia tua, sekitar 30 tahun hingga dilakukan peremajaan.

“Karena sudah tua, hasil sudah tidak efektif, jadi ikut program peremajaan,” katanya, akhir Maret lalu.

Sebelum dia tebang medio 2019, tanaman sawit ini tak lagi optimal hasilkan tandan buah segar (TBS). Ditanam sekitar 1987, kebun sawit hanya menghasilkan dua ton TBS per kapling dalam sekali panen.

Artinya, satu hektar lahan sawit hanya menghasilkan satu ton TBS. Hasil ini jauh dari rata-rata produktivitas kebun sawit nasional lebih dari dua ton per hektar.

Tak hanya produktivitas rendah, tanaman sawit yang mencapai belasan meter bikin kesulitan memanen TBS. “Susah joloknya, dan (berisiko) bisa tertimpa pelepah.”

Untuk itu, ketika ada kesempatan mengikuti program peremajaan sawit rakyat (PSR), dia tak pikir panjang lagi.

Baca Juga :  Fungsionaris DPD PPMI Dimnta Pertajam Jiwa Patriotisme dan Nasionalisme Pemuda Kaltara

Dana hibah Rp25 juta dari program PSR dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) semaksimal mungkin untuk mengganti tanaman-tanaman tua dengan yang baru.

Dia berharap, tiga hingga empat tahun mendatang, tanaman sawit punya hasil melimpah.

Peremajaan tanaman sawit juga dilakukan petani Sugianto. Warga Desa Amboyo Utara, Ngabang ini punya kebun empat hektar. Tanaman sawitnya sudah lebih 30 tahun dan tidak lagi produktif.

Ayah lima anak ini merasa terbantu dengan ada bantuan dana hibah dari pemerintah melalui BPDPKS. Per hektar, dia dapat Rp25 juta untuk peremajaan sawit itu.

Namun, katanya, ongkos ini hanya cukup untuk pembersihan lahan, pembelian bibit, pupuk, dan kebutuhan perawatan untuk setahun ke depan atau sekitar 50% dari keperluan.

Kekurangan dana, katanya, jadi tantangan bagi pekebun dalam mengimplementasikan program PSR. Sejak tahun lalu, dana hibah BPDPKS naik dari Rp25 juta jadi Rp30 juta per hektar. Kendati angka sudah naik, kebutuhan belum tercukupi untuk ongkos peremajaan hingga sawit berbuah sekitar empat tahun sejak mulai tanam.

“Perkiraannya satu hektar butuh Rp60 juta, sedangkan bantuan saat ini hanya Rp30 juta,” kata Indra Rustandi, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalbar.

PSR, merupakan program membantu pekebun rakyat memperbaharui tanaman mereka dengan sawit lebih berkualitas dan berkelanjutan. Melalui PSR, produktivitas lahan milik pekebun sawit rakyat bisa ditingkatkan tanpa melalui pembukaan lahan baru.

BPDPKS bertugas menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana untuk meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia. Maksimal luasan lahan yang mendapatkan dana PSR yakni empat hektar per keluarga petani atau senilai Rp120 juta.

Karena itulah, kata Indra, untuk menutupi kekurangan dana itu, para pekebun menempuh berbagai cara, antara lain, yang telah mempersiapkan dana pribadi, hingga mengajukan kredit ke bank.

Meski begitu, katanya, tak mudah bagi pekebun merelakan peremajaan kebun sawit mereka. Terlebih, kalau kebun jadi satu-satunya sumber pendapatan warga.

Persoalan pendanaan, katanya, juga jadi keengganan pekebun mengikuti program PSR.

Saiyo, petani sawit di Ngabang ini belum mengikuti PSR kendati tanaman sudah usia tua. Selama ini, sawit jadi sumber pendapatan keluarga satu-satunya.

Baca Juga :  Komisi III DPR-RI Restui Komjen Listyo Sigit Jabat Kapolri 

Kalau sampai ikut peremajaan kebun sawit, sumber penghasilan akan hilang. Apalagi, katanya, peremajaan tanaman sawit perlu sekitar empat tahun untuk berbuah dan memberikan pendapatan.

“Masih ada biaya pendidikan anak harus dipenuhi, sama ada utang di bank,” kata pekebun asal Desa Amboyo Inti ini.

Belum lagi, katanya, saat ini harga sawit sedang membaik. Keadaan ini makin membuat Saiyo merasa berat mendaftar program PSR. Walau dia sadari, produksi rendah tetapi harga TBS sedang tinggi, penghasilan pun lumayan besar.

“Satu kapling hanya produksi 1,6 ton TBS. Namun harga sawit di atas Rp2.000 per kilogram. Harga sedang bagus.”

Meski begitu, dia masih punya keinginan mengikuti program PSR. Yang pasti, katanya, setelah kondisi keuangan memungkinkan. Saiyo juga berharap, kelak punya kebun dengan hasil melimpah, sama seperti pekebun-pekebun lain yang sudah ikut program ini.

Heronimus Hero, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, mengatakan, satu-satunya cara meningkatkan produktivitas sawit dengan peremajaan, atau mengganti tanaman tua dengan yang baru.

Produktivitas rendah, katanya, tak hanya karena usia tanaman sudah tua, juga kesalahan dalam memilih bibit.

“Banyak dulu mereka (pekebun) menanam bibit pencabutan hingga produktivitas rendah. Mudah-mudahan, PSR ini bisa jadi solusi meningkatkan produktivitas tanaman sawit,” katanya.

Dengan ada program PSR yang memberi dana hibah kepada pekebun rakyat, katanya, menjadi kesempatan baik untuk meningkatkan produksi sawit, sekaligus mencegah pembukaan lahan baru.

Di Kalbar, dia perkirakan sekitar 100.000 hektar kebun sawit usia tua dan tak produktif hingga layak lakukan peremajaan.

“Dua tahun terakhir kita baru dapat 14.000 hektar, tahun ini 12.000 hektar. Masih banyak yang belum (diremajakan).”

Indra bilang, satu tantangan dalam mengimplementasikan program PSR di Kalbar karena kurang komunikasi dan sosialisasi. Jadi, masih ada sebagian pekebun belum terjangkau.

Para pekebun yang mengajukan program ini sebagian besar adalah petani plasma. “Rata-rata petani plasma, yang mandiri belum tersentuh,” katanya.

Sosialisasi minim itu, katanya, menyebabkan, pekebun kurang teredukasi hingga mereka tak memahami peremajaan tanaman sawit. Para pekebun, masih ada yang enggan peremajaan karena merasa kebun mereka masih menghasilkan buah, meski hasil tak optimal. Di tengah harga TBS tinggi, sehingga membuat pekebun berat meremajakan kebun sawit.

Baca Juga :  Aktivis Perempuan Asal Kota Pariaman Jadi Ketua DPRD

Apkasindo, katanya, terus mendorong para pekebun mengikuti program PSR.

Adapun kriteria pekebun yang dapat mengajukan dana hibah Rp30 juta kepada BPDPKS adalah pekebun yang memiliki lahan sawit berusia lebih 25 tahun, produksi TBS kurang optimal, serta tanaman berumur tujuh tahun dari bibit asal-asalan.

“Mudah-mudahan dari target pemerintah 12.000 hektar, bisa terealisasi minimal 10.000 hektar kebun sawit.”

Tanaman sela

Pekebun yang mengikuti program peremajaan sawit harus siap kehilangan pemasukan sementara. Tanaman perlu waktu sekitar empat tahun untuk berbuah dan memberikan pendapatan bagi mereka.

Mengenai sumber pendapatan yang hilang di masa tunggu itu, Hero menyarankan remajakan kebun bertahap.

Dia contohkan, peremajaan sebagian lahan terlebih dahulu, kemudian sebagian lahan lain selanjutnya.

“Mereka bisa mengajukan bertahap, plasma ataupun kebun mandiri. Umpamanya, empat hektar, bisa dua hektar diajukan dulu. Sisanya, masih bisa panen.”

Para pekebun, katanya, juga bisa memanfaatkan dukungan melalui program bantuan tanaman pangan guna mendapatkan bibit padi, jagung, kedelai, atau tanaman yang bernilai ekonomis. Mereka pun, katanya, dapat menanam dengan sistem tumpang sari di lahan sama dengan kebun peremajaan. Dengan catatan, cara perawatan kebun benar.

Sistem tumpang sari inilah yang dilakukan Frans. Dia mencoba menanam sayur dan cabai dengan sistem tumpang sari di kebun peremajaan sawit. Upaya itu terbilang berhasil.

“Hasilnya lumayan bagus.”

Sayangnya, Frans terkendala pasar. “Hanya pasar yang sulit. Semula saya berharap sayur-sayuran ini bisa dijual ke pasar, tapi pasar jauh dari kampung,” katanya.

Meskipun begitu, dia tak patah arang. Frans mencoba tanaman lain. Kali ini, jagung untuk pakan ternak.

Pekebun yang mengikuti program PSR dapat bantuan bibit jagung dari Pemerintah Landak. Frans mencoba menanam jagung dalam sebulan ini. Sekarang dia tinggal menunggu waktu panen.

Sugianto juga mencoba memanfaatkan sela-sela tanaman sawit dengan tanaman pangan. Semula dia tanam jagung, setelah mencoba hasil kurang maksimal. Tak sampai setahun, dia mengganti jagung dengan pisang.

Hasil jauh lebih baik. Pisang berbuah lebat.“Dari pisang, satu bulan bisa dapat Rp500.000-Rp600.000. Lumayan untuk menambah kebutuhan sehari-hari,” kata Sugianto. (pontianak post/mongabay-indonesia/siti sulbiyah kurniasih/red)