Stigma Satwa Endemik Sebagai Hama Pemicu Terdesaknya Populasi Gajah Sumatera

Khasanah & Ragam Budaya

BENGKULU (RNSI/SMSI) – Kasus-kasus kematian satwa endemik Sumatera, khususnya gajah, diakibatkan masih dominannya stigma bahwa gajah adalah hama.

Hal ini merupakan hasil analisis dari Konsorsium Bentang Alam Seblat, yang dilansir melalui Gardaanimalia.com, Sabtu, 26 Februari 2022.

Konsorsium ini juga menyebutkan populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di Bengkulu saat ini hanya tersisa 50 ekor.

“Di Bengkulu, populasi gajah saat ini ada 50 ekor. Kawanan ini terpencar di beberapa kawasan hutan. Dalam 15 tahun terakhir, sekitar 19 ekor mati,” ungkap Ali Akbar, Penanggung jawab Konsorsium Bentang Alam Sebelat, Kamis, 24 Februari 2022.

Menurutnya, kematian satwa dilindungi tersebut tidak terjadi secara alami.

Di antara penyebab kematiannya ialah dikarenakan satwa itu diracun, ditembak, dan diburu.

“Selain itu, stigma tehadap gajah sebagai hama kemudian menjadi alasan utama bagi para pemangku perkebunan membunuh kawanan satwa langka yang berhabitat di Pulau Sumatera tersebut,” sesal Ali Akbar.

Dijelaskan lebih lanjut, fenomena itu berakibat kawanan gajah yang hidup di Bentang Alam Seblat terpencar menjadi kelompok kecil dan berpengaruh pada terjadinya perkawinan satwa yang dekat pertalian darah (inbreeding).

“Kondisi ini memicu turunnya fungsi genetik gajah yang kemudian bermuara pada cepatnya laju kepunahan gajah di Bengkulu,” lanjutnya.

Sejak 2018, pemerintah telah menetapkan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah Sumatera seluas 29 ribu hektare di Bengkulu.

Kawasan tersebut meliputi Hutan Produksi (HP) Air Rami, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis, dan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat.

Lalu, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan sebagian konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

Akan tetapi, Ali menyebut bahwa koridor yang sudah diproyeksikan sebagai jalur satwa nyatanya terus mengalami kerentanan dengan berbagai ancaman yang ada.

Baca Juga :  Habib Abdurrahman Al Haddad Buka Kuliner Nasi Kebuli Khas Timur Tengah

Seperti perambahan, pembalakan, aktivitas perkebunan sawit skala besar, hingga pertambangan batu bara yang membuat jalur penghubung itu terus tergerus dan memperbesar ancaman kematian satwa dilindungi tersebut.

Konsorsium Bentang Alam Seblat yang merupakan kerja kolaboratif tiga lembaga nonpemerintah sejak 2021, yakni Yayasan Kanopi Indonesia, Yayasan Genesis, dan Lingkar Inisiatif menemukan bahwa kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan negara terhadap kawasan yang akan dijadikan koridor tersebut.

“Implikasi dari inilah yang kini membuat ‘benteng terakhir’ gajah sumatera kini makin terdesak,” ungkap Ali.

Dalam melakukan penyelamatan populasi dan perlindungan terhadap habitat satwa langka tersebut, Ali ingin penegak hukum mendukung upaya ini dengan memberikan efek jera terhadap orang yang melakukan pelanggaran.

“Penegak hukum harus memberikan sanksi tegas kepada para pihak yang merambah ataupun melakukan pembalakan liar di kawasan hutan yang menjadi habitat gajah sumatera,” ujarnya.

Berdasarkan temuan lapangan, ia menyebut bahwa pihaknya mengetahui beberapa praktik pembukaan kawasan hutan justru difasilitasi oleh aparat desa, oknum di pemangku kawasan, dan warga yang memiliki modal.

“Jika ini dibiarkan berlarut, konflik antara gajah dan manusia akan semakin sering bermunculan. Pastinya, akan menimbulkan korban di kedua belah pihak,” imbuhnya.

Menurutnya, pemerintah mesti segera menetapkan koridor penghubung bagi satwa dilindungi tersebut. Karena hal itu akan membantu proses penyelamatan gajah sumatera.

“Tanpa koridor, habitat yang selama ini sudah menyempit akibat aktivitas manusia dan industri perkebunan ataupun pertambangan akan semakin tergerus dan memicu kematian gajah di Bengkulu semakin cepat,” tutup Ali. (Gardaanimalia.com/red)