SEPILIHAN SAJAK RAMADAN 1443 H KARYA AGUSRI JUNAIDI

Opini & Puisi

MENCARI JEJAKMU

Di bawah ratusan meter
dan berton batu kini aku.
Di gua gelap menyelami arus
aku mencari keselarasan.

Hidup hanya ribuan
tanda tanya dan seru,dalam riuh tanda-tanda itu aku menunggu pertanda langit

Jika cahaya sampai pada pasir pantai, aku menunggu isyarat.
Sebatang Waru masih tegak disisi pulau itu, mungkin ia juga menunggu.
Sementara aku sudah jadi sebongkah karang tak henti dihempas ombak.

Aku mencari jejakmu, kini, sembari bergumam, kembalilah agar mengisi kekosongan yang kau tinggalkan.

Aku umpama matador yang
hilang ruang. Meski kadang bagiku laut menyembuhkan segalanya, terasa juga penat dari kesepian ini.

Aku ingin kembali menyimak hutan bakau di wajahmu, sebelum angin buritan melayarkanmu lagi, pergi pada tujuan yang tak lagi aku pahami.

KOSONG

Mungkin seekor cacing telah mendekam di kepala
ia ambil alih pikiran lalu mengendalikan

Akhir-akhir ini hanya gaduh yang ada, aku simak mereka bicara tentang lelaki
ditelanjangi
di jalanan

Aku lelah tak hendak ikut bicara
temanku kini hanya lengking lokomotif juga deru roda melindas rel ketika gerbong panjang berarak membelah pagi.

Ini pagi di bulan Ramadhan. Masjid Toledo baru saja tidur waktu kulewati, di kejauhan Gunung Betung garisnya begitu tegas.

Kini aku membatasi diri, tapi aku tahu jika tembokku terlalu tinggi itu bisa jadi penjara. Kekosongan tertentu tak bisa diisi, kini, aku hanya punya sedikit keberanian untuk melampaui ketakutan.

SERENADE

Ini musim panas sekali
namun menyimpan hujan
aku reka-reka lagi jejak langkah
diantara keringat yang
jatuh

sementara itu, hari-hari dalam lipatan buku yang kau kantongi di saku jeans-mu dulu itu seperti tibatiba menjelma sepotong puisi

Baca Juga :  KANDANG YANG HILANG KENANGAN

aku kemudian merasa cukup tua
waktu melihat diriku dalam wajah dua anak muda yang berbincang ke teras rumah siang tadi

ternyata telah cukup panjang
perjalanan

aku mengingat lagi banyak hal
sebelum sore menjadi sibuk dan
aku kembali dengan serenade
sambil menunggu berbuka puasa.

SEBELUM LEBARAN TIBA

kini aku mau terima kau
kita duduk bermuka-muka
kemudian saling ulur tangan merdeka
tak lagi ada marah, aku + kamu sudah cukup kenyang derita, sudah lampaui badai bersama

tapi, apa?
tak akan lagi nangis bersama
atau gembira berdua
kita sudah rela waktu sekedar cerita

kini mau lebaran lagi
aku tetiba mau kita bermuka-muka
kita tak lagi membincang salah
tak juga renjana
biar diam saja tak juga sia-sia
tak apa-apa
yang penting kita saling bertatap
meski hanya sepi bicara

MENUNGGU PAGI

Meski jauh kita pergi tetap saja merindukan rumah.
Kehangatan rumah adalah candu masa lalu yang membungkusmu dari hujan
bahkan saat hanya sebatang lilin yang tersisa.
Rumah menyisakan hangatnya sendiri.

Duduk diteras dalam kesunyian, masih kau nyalakan api dalam jiwamu,
selalu kau rengkuh ujung cahaya agar bertahan dalam kegelapan.

Sementara kesunyian makin dalam diantara rintik hujan kau berharap matahari segera rekah, tiba pada sepotong pagi yang basah dan renyah oleh kicau burung.

****

Catatan Redaksi : Agusri Junaidi, penyair ini juga merupakan ASN di lingkup Pemkab Lampung Utara. Berbagai karya sastranya telah terpublikaskan di berbagai media masa.

Hingga saat ini, di tengah rutinitasnya sebagai abdi negara, Agusri Junaidi terus konsisten menulis bersama Komunitas Lamban Sastra Bandarlampung.