Sempat Populer sebagai Industri Kreatif, Batu Akik akankah Kembali Booming?

Khasanah & Ragam Budaya

JAKARTA (RNSI/SMSI) – Masa kejayaan batu akik di seantero nusantara sempat populis pada kisaran 2010 hingga 2015.

Kendati demikian, batu akik bukanlah kebutuhan primer, seperti pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Bukan pula kebutuhan sekunder yang bisa dipenuhi setelah kebutuhan primer tercukupi.

Batu akik, seperti halnya perhiasan yang sering digolongkan sebagai kebutuhan tersier alias mewah. Itulah kenapa tren akik cepat sekali berubah.

Solar Padang. Foto : net.

Dikutip dari AyoSurabaya.com, Koordinator Pimpinan Kolektif Asosiasi Puspa Cakra, Junaedi, menuturkan, kebutuhan tersier tidak mungkin terpenuhi jika kebutuhan dasar manusia saja belum tercukupi seiring lemahnya daya beli masyarakat.

Untuk mengembalikan kejayaan batu akik, daya beli masyarakat harus ditingkatkan karena orang tidak akan beli perhiasan jika kebutuhan dasarnya saja tidak terpenuhi.

Jumlah pedagang batu di Pasar Rawa Bening, Jakarta, pun menyusut sekitar 30%. Dari zaman booming sampai 900-1.000 pedagang, sekarang tinggal 700-750-an pedagang. Itu sudah termasuk perajin yang membuka jasa gosok batu akik.

Giok Aceh Belimbing. Foto : net.

“Persoalannya, sekarang ini daya beli masyarakat lemah. Istilahnya, kalau orang cari makan aja susah, masak mau beli perhiasan?” kata Junaedi, dalam satu kesempatan.

Namun, karena kesenangan, soal harga pun tak ada patokan pasti. Batu akik mulai harga ribuan hingga ratusan juta rupiah bisa ditemui di pasar yang diresmikan pada 2010 itu.

Jenisnya beragam, sebut saja batu giok dari Aceh, batu pandan khas Jakarta, batu marjan dari Sumatera Selatan, batu bacan dari Maluku, hingga Papua dengan batu cyclop-nya.

Pancawarna Bengkulu. Foto : net.

Berbeda dengan batu mulia yang harganya dihitung per karat dan kekerasannya harus di kisaran skala 7-10 Mohs, batu akik tidak demikian. Semakin susah dan banyak orang mencari, semakin mahal pula harganya.

Baca Juga :  KONSTITUEN DEWAN PERS

Karakteristik batu akik dari masing-masing daerah pun berbeda. Cyclop dari Papua yang bening cerah berwarna-warni kontras dengan batu pancawarna dari Jawa Barat yang coraknya beragam.

Pernah suatu ketika batu bacan meroket harganya, sekali waktu bisa disalip popularitasnya oleh batu Cendana Indah Bengkulu Indonesia (CIBI) khas Bengkulu, begitu seterusnya.

Lumut Merah. Foto : net

Ketika masih booming, hampir tiap waktu selalu ada kontes atau lomba batu akik di setiap daerah. Tak terkecuali, di Pasar Rawa Bening Jakarta.

Bahkan, saat tren batu akik mulai meredup di akhir 2015, Pasar Rawa Bening masih meneruskan tradisi kontes hingga tiga tahun sesudahnya dan kabarnya berlangsung sukses.

Pameran dan Kompetisi Gemstone di Pasar Rawa Bening pada 2016, sukses menggaet peserta dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Selain Bacan, Giok Aceh paling diburu kolektor. Foto : net

“Pada 2017 masih kami adakan kontes batu, ramai juga,” kata Kepala Pasar Rawa Bening Jakarta Dede Waskita, sembari memamerkan poster kontes akik 2016 yang masih tersimpan.

Dede baru menjabat Kepala Pasar Rawa Bening, ketika meredupnya tren batu akik, namun tradisi kontes batu digelarnya hingga 2018.

Di mata pehobi, seperti Cut Putri Alyanur, batu akik lebih dari sekadar soal kesenangan, tetapi kebanggaan terhadap kekayaan bumi pertiwi karena Indonesia adalah surganya batu akik.

Hampir semua batu akik khas setiap daerah di Indonesia dikoleksinya. Stigma hobi batu akik yang selama ini melekat pada kaum Adam berhasil ditepis perempuan asal Tanah Rencong itu.

Bacan Doko. Foto : net.

Ditemui di sela menunggui pesanan batu pirus miliknya, perempuan berhijab itu berharap pemerintah berperan aktif menggeliatkan kembali tren batu akik karena menghidupi banyak orang, termasuk perajin akik.

Promosi, utamanya harus digencarkan. Pada setiap pertemuan berskala internasional, batu akik khas berbagai daerah di Indonesia bisa dikenalkan kepada para delegasi.

Baca Juga :  Modernisme Tidak Pengaruhi Masyarakat Badui Pertahankan Tradisi Leluhur

“Pak Jokowi kalau ke pertemuan-pertemuan tingkat dunia bisa kasih batu sebagai hadiah. Batu dari mana dulu, nanti giliran daerah mana lagi,” kata Kepala Anjungan Aceh di TMII itu. (ayosurabaya/rahim asyik/red)