Sastra dan Ruang-Ruang Imajinasi

Opini & Puisi

Ditulis oleh : Heri Isnaini*

Sastra sebagai salah satu bentuk karya tentu saja tidak tiba-tiba muncul atau turun dari langit. Sastra adalah ejawantah dari pengalaman dan hasil ciptaan manusia. Sastra lahir dari persentuhan budaya, sosial, agama, dan segala macamnya. Hubungan antara karya sastra, pengarang, dan masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan sehingga sastra “mau tidak mau” akan menjadi cermin masyarakat.

Cerminan masyarakat ini yang menjadikan sastra selalu menjadi semacam “dokumen sejarah”. Novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer di antaranya, dapat membawa pembaca mengarungi masa-masa yang sudah lampau, tentu saja lengkap dengan gambaran budaya dan situasi sosial yang tergambar di dalamnya. Jauh sebelumnya, Kwee Tek Hoay dalam Boenga Roos dari Tjikembang juga dapat menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat Melayu-Tionghoa pada tahun 1900-an. Dengan demikian, sastra dapat menjadi perwujudan atas kondisi sosial, budaya, dan segala hal yang terjadi pada saat sastra itu diciptakan.

Begitulah sastra sebagai dunia imajinasi yang kerap menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat tanpa dihalangi oleh kepentingan praktis, politis, dan lain-lain. Penggambaran kondisi sosial dan budaya dalam sastra cenderung jujur, walaupun di kemudian hari ada juga yang terbukti bahwa sastra memiliki kepentingan-kepentingan tersebut.

Dalam karya sastra ada ruang-ruang imajinasi pengarang yang mewujud pada bentuk kreativitas. Ruang-ruang imajinasi tersebut mengantarkan pengarang pada situasi yang memungkinkannya bertutur apa adanya, berkata lurus, dan menulis dengan bersih. Dalam hal ini, misalnya novel Albert Camus, yang diterjemahkan oleh Nh. Dini dengan judul Sampar membuktikan bahwa kondisi masyarakat pada masa itu yang tengah dilanda pandemi sampar digambarkan apa adanya. Pembaca bisa mengetahui kondisi masyarakat, kondisi sosial, kondisi budaya, dan kondisi kesehatan masyarakat, serta tentu saja cara penanganan wabah tersebut.

Baca Juga :  OBITUARI UNTUK EMAK

Pada situasi apa pun, sastra akan menjadi wahana untuk menuangkan imajinasi dan kreasi pengarang. Imajinasi dan kreasi pengarang dapat diwujudkan dalam berbagai genre sastra (puisi, cerpen, novel, atau drama). Wujud-wujud tersebut memungkinkan sastra terus berkembang dan terus mengabarkan kondisi masyarakat secara lebih utuh dan murni.

Dunia yang sedang dilanda pandemi virus corona saat ini, jelas menjadi wahana inspirasi dalam dunia sastra. Pandemi yang hamper melumpuhkan semua sendi kehidupan masyarakat mendapatkan ruang tersendiri dalam wilayah kreativitas sastra. Pada tahun 2020, 2 bulan sebelum wafat, Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku kumpulan puisi Mantra Orang Jawa yang diterbitkan oleh Gramedia. Di awal tulisannya, Sapardi menuliskan bahwa “Isolasi tidak bisa membunuh imajinasi yang tak lain sumber kreativitas, kita ciptakan mantra pengusir Covid-19”. Artinya, Sapardi Djoko Damono mengajarkan bahwa dalam situasi bagaimana pun, kreativitas tidak bisa dihalangi oleh apa pun, termasuk isolasi. Pengarang harus menyadari bahwa ada hubungan yang erat antara kondisi lingkungan dengan imajinasinya.

Hubungan erat dan “gaib” tersebut menjadi salah satu bahan untuk sastra dapat mengabarkan kondisi masyarakat pada situasi dan kondisi tertentu. Dengan demikian, masa depan sastra dalam kondisi apa pun akan tetap terus berkembang sejalan dengan kondisi sosial masyarakat dalam berbagai keadaan. Manusia beserta kebudayaannya akan tetap abadi dengan sastra. Benar apa yang dikatakan Sapardi, “Yang fana adalah waktu, Kita abadi”.

Bandung, 20 Agustus 2021

*Heri Isnaini penggemar berat tulisan-tulisan Sapardi Djoko Damono. Sehari-hari bekerja sebagai Dosen Sastra, IKIP Siliwangi. Antologi puisi tunggal Heri, di antaranya: Ritus Hujan (2016), Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu (2019), dan Manunggaling Kawula Gusti (2020). Heri dan keluarga tinggal di Jalan Babakan Ciparay No. 320 RT 01/ RW 01 Bandung 40233. Heri dapat dihubungi melalui surel heriisnaini1985@gmail.com

Baca Juga :  BANGKITLAH INDONESIAKU, CORONA BUKAN HANTU