RELASI JADUL

Opini & Puisi

———————–

Karya : Agusri Junaidi

 

0

 

Setidaknya kita pernah bertemu di jalanan toh. Meski kita tak saling menyapa dan

hanya bicara isyarat mata.

Aku ngerti kita pernah saling menghapalkan wajah, meresapkannya di segenap resah.

 

Kita beranjak dari tahun yang sama,

kutemui wajahmu dimana-mana.

Kita pernah bertemu di jalanan, mungkin di koridor atau selasar kampus, atau di kantin itu

yang sekarang sudah dibangun musholla.

Tahun-tahun yang kita lalui bara apinya, menyengat jiwa muda kita.

 

Dan aku yakin sudah kau hapal juga wajahku

seperti aku juga mengingat garis wajahmu

yang dulu seringkali dialiri peluh di jalanan, ya jalanan.

 

1

 

Jalanan mempertemukan kita dalam longmarch sepanjang Unila dan

Tugu Gajah,

hingga kantor DPRD, tempat orang-orang bersafari menghapalkan rayuan.

Barisan demonstran biasa berhenti di depan kantor Korem. Di depan gardu monyet, tamtama tegak dengan mata awas. Lalu  barisan itu

kembali berorasi dengan bising dan kepal tangan.

 

2

 

Pernah ku lihat kau dan Ijal turun dari Bus Rajabasa-Panjang orange itu. Kita sama berhenti di pinggir jalan Sukarno Hatta

yang bersebelahan dengan rel kereta, tempat yang dikenal sebagai kampungnya mahasiswa.

 

Jalanan itu menurun dan kemudian landai. Kita sama akan melewati jalan tikus yang tembus ke antara  Fakultas Pertanian dan Fakultas Ekonomi. Sesekali kita beradu pandang dan merayakan

sepintas persentuhan-persentuhan itu, dengan senyum tipis.

Aku menebak kau kuliah di Fakultas Hukum atau Fisip.

 

3

 

Kita sama kehilangan kala itu.

Ijal sudah tak ada,

sebuah peluru menembus tubuhnya, dalam sebuah demo yang rusuh.

Aku masih mengingat sosoknya yang jangkung, sedikit daging

melapis tulangnya yang lebar. Rambutnya gondrong menjela melebihi bahu dan belah tengah.

Baca Juga :  Mahaguru Berpulang

Kulitnya putih, aku rasa jika ia tak terlalu pendiam banyak mahasiswi yang menyukainya.

Ia selalu saja berjalan dengan cara yang khas,sehingga

aku bisa menghapal nya dari kejauhan. Ia yang sering bertemu denganku di Bus Rajabasa-Panjang itu  tinggal pula kenangan,

dia sudah jadi martir.

Entah bagaimana peluru menyasar tubuhnya ketika bentrok di depan kampus UBL yang berhadapan dengan koramil itu. Riuh sekali waktu itu dan kita sama didalam keriuhan itu.

 

4

 

Setelah itu makin sering aku melihat kau dijalanan, dengan ikat kepala dan lembaran karton bertulis tinta  spidol.

 

Tapi, sejak reformasi itu dan agenda-agendanya dirasa mencukupi, badai demo mereda, dan kita kembali disibukkan dengan diri,

masing-masing.

 

Kita ingin cepat sarjana

dan mulai memilih jalan hidup kita.

Sejak itu pula kita tak pernah bertemu, lalu dunia terasa cepat sekali berubah. Sekeliling kita juga berubah,

wajar jika kita pun berubah.

 

5

 

Kita dewasa dan matang. Satu-persatu penanda mulai tampak, rambut yang memutih helai perhelai. Gigi pun mulai ada yang tanggal. Tubuh kita juga tak lagi ceking seperti semasa mahasiswa itu, dan dari pakaianmu aku rasa kau bekerja di tempat yang baik. Kacamatamu merk terbaru dengan lensa bening yang mampu menyesuaikan cahaya. Penampilanmu bersih namun matamu masih sama dengan yang lalu, ada sepercik kegelisahan yang  berpijar lembut.

 

Matamu itu aku mengenalnya.

Bukankah dari mata,

jiwa seseorang dapat terbaca?

Namun sudah ada keteduhan kulihat di matamu, kau tampak matang. Pijar gelisah

dan keteduhan itu

membangun harmoni lain pada dirimu. Menjadikan karaktermu tampak makin tenang dan misterius.

 

6

 

Entah apa kau juga mengenaliku?

Baca Juga :  DAN LANGIT PUN BERSUARA

Kita nampaknya saling meragu untuk memulai,

saling bertanya.

Mungkin setelah sebuah sapaan yang santai

aku bisa mulai duluan.

 

Tapi kita terpisah jarak beberapa meja, apa alasan yang tepat, agar bisa lebih dekat?

Lalu aku bisa berbasa-basi, “sendirian saja?”

Lalu aku akan menyambung, “sepertinya wajahmu tak asing, apakah kita pernah bertemu?”

Atau aku bisa berpura-pura meminjam pemantik api.

Sayang sekali sama sekali tak ada rokok pada diriku.

 

7

 

Kau melirik kearahku,

aku tau kau pun ragu.

Sudah lama sekali, wajar saja,

dua puluh tahun lebih

sejak pertemuan-pertemuan di jalanan itu, kita

tak pernah lagi jumpa.

Aku penasaran sebenarnya,

sudah jadi apa dirimu?

Setelah ranum reformasi dan  otonomi daerah, mungkin kau sudah mapan

disalah satu kota atau kabupaten

yang terus bertambah jumlahnya di propinsi ini.

 

Barangkali kau mengangkangi beberapa proyek APBD atau kau sudah menjadi seorang anggota legislatif, komisioner di lembaga negara atau pengawas Pemilu. Semua mungkin saja, toh dirimu sudah ikut juga berjuang membebaskan negeri ini dari kediktatoran orde baru.

 

8

 

Aku rasa wajar orang sepertimu sudah duduk ditempat terhormat, lagi pula usia kita tengah matang-matangnya sekarang. Di usia sekarang tentulah kita sudah layak diembankan tugas, jadi pemimpin wilayah. Tentu kau yang seorang pejuang bisa lebih progresif dari para anak papi dan mami.

Apa kau punya mimpi seperti itu? Jadi pemimpin wilayah? Bukankah gagasan-gagasan itu biasa sekarang ini? Yang penting kau aktifis partai atau punya banyak uang. Lebih baik lagi jika kau miliki kedua hal itu.

 

9

 

Kau mulai tak sabar, sepertinya kau menunggu seseorang. Beberapa kali kau  melihat arloji sambil memandang ke arah lobby. Aku menghentikan gagasan untuk saling menggali informasi denganmu, aku tak yakin waktunya cukup baik untuk membangun lagi relasi lama. Namun aku tetap mengingat kau sebagai orang yang dulu sering kutemui di jalanan.

Baca Juga :  Puisi-puisi Karya Syaufi Anwar Sabran*

 

Aku anggap saja begitu, tak ada waktu untuk cross check kebenaran itu. Bahkan setelahnya aku ingat,kau juga orang yang berdarah digebuk Brimob ketika bentrok didepan Tugu Unila dan Jalan Kopi. Kepalamu bocor terserempet pentungan, jaket almamater warna biru ditetesi darah. Kau di evakuasi oleh palang merah namun matamu nanar menatap wajah orang-orang. Entahlah,bagian ini aku merasa kurang yakin, apakah kau salah satu dari 35 orang yang diamankan petugas pada hari itu?

 

10

 

Aku hanya yakin kau orang yang dulu sering bertemu aku di jalanan, dalam longmarch-longmarch yang berderap. Sayang aku belum juga dapat alasan untuk menyapamu sampai seorang wanita nampak di lobby pusat perbelanjaan itu. Kau melirikku sekilas yang pura-pura tak acuh sebelum menghampiri wanita muda itu dan menggandengnya masuk dalam sebuah gerai busana.

 

(2020)