Pulau Penyu di Berau Penuh Sampah Luar Negeri, Membunuh Secara Perlahan

Khasanah & Ragam Budaya

Kalimantan Timur (Restorasi News Siber Indonesia/SMSI) – Pulau tak berpenghuni di perairan Blambangan serta beberapa pulau kecil lainnya di Berau, Kalimantan Timur, setiap tahun dijadikan tempat pembuangan sampah ‘impor’.

Pulau-pulau kecil di Perairan Berau merupakan habitat penyu hijau (Chelonia mydas) terbesar di Indonesia. Diantaranya, Pulau Belambangan, Sambit, Sangalaki, Semama, Mataha, Bilang-Bilangan, Maratua, Kaniyungan Besar, Kaniyungan kecil, Bakungan dan Nunukan.

Di pulau kecil yang menjadi lokasi ideal penyu untuk bertelur itu selama puluhan tahun menjadi persinggahan dan hunian sampah asal Malaysia, Filipina, Tiongkok, Taiwan, Jepang, juga sampah produk dalam negeri.

Bahkan, sampah yang ada di pulau ini bisa menutupi pantai hingga kedalaman lebih dari 1 meter. Sampah plastik limbah rumah tangga dan produk kemasan plastik ini menutupi 80 persen pantai pulau dengan luas 9,3 hektare tersebut.

Sampah plastik yang ditemukan merupakan produk dari 3 negara tetangga, yakni Cina, Malaysia, dan Filipina. Dikhawatirkan sampah ini akan mengganggu habitat penyu, bahkan bisa membunuh secara perlahan.

Menurut Koordinator Yayasan Penyu Indonesia (YPI), Bayu Sandi, sampah kiriman ini merupakan siklus musiman setiap tahun.

“Biasanya saat musim angin utara, sampai pada bulan Maret, sampah-sampah dari utara dimana negara-negara tersebut berada membuat sampah-sampah terdampar di pantai dan Belambangan yang berada di wilayah Utara Berau,” ungkapnya, yang dikutip siberindo.co, Sabtu, 6 Februari 2021.

Bahayanya, sampah plastik dan botol kaca bisa menyebabkan kematian bagi penyu.

“Anak penyu baru menetas atau yang naik bertelur, bisa tersangkut plastik, bertahun-tahun dan menyebabkan cacat. Juga induk yang menggali pasir untuk bertelur bisa terluka terkena beling pecahan botol,” katanya lagi.

Bermacam-macam produk berbahan plastik ditemukan, mulai dari sandal, sepatu, rangka televisi, kemasan makanan dan minuman dan banyak produk plastik lainnya, hingga alat tangkap ikan, juga rumpon. Kondisi ini terjadi setiap tahun.

Baca Juga :  Kelahiran Kedua Penyeret Babi

Ironisnya, karena pulau tidak berpenghuni, sampah tersebut tidak ada yang membersihkan sehingga tetap terdampar di sebagian besar garis pantai.

Pihak YPI bersama beberapa anggotanya yang baru saja mendapat mandat menjaga pulau, melakukan pembersihan.

Selama tiga hari terakhir dilakukan pembersihan sampah di pantai, namun tidak kunjung selesai.

“Kendala terberat, ya, karena sampahnya datang terus terbawa arus setiap hari ke sini,” ujarnya.

Saat usai dibersihkan, Bayu mengatakan, pantai dengan pasir putih itu akan terlihat bagus, namun tidak sebagaimana yang terjadi di bawah permukaan pasir.

Jika digali hingga kedalaman 90 centimeter masih ditemukan tumpukan sampah plastik, akumulasi sampah kiriman dari beberapa tahun sebelumnya.

Tumpukan sampah di pantai tentunya sangat mengganggu penyu yang mendarat untuk bertelur.

Tidak saja menyusahkan, tetapi bisa juga menjerat leher atau kaki penyu dan sering ditemukan menjadi penyebab matinya penyu-penyu yang berada di perairan Berau.

Selama 2018 saja, ditemukan beberapa laporan dan temuan penyu yang mati karena terjerat sampah plastik. Bahkan, ada juga penyu yang mati karena menelan sampah plastik.

“Jadi sementara ini, kami kumpulkan dan kami bakar saja, sebab tidak ada solusi pengolahan sampah plastik di pulau ini,” ujarnya.

Kata dia, ini solusi terakhir daripada mengganggu penyu bertelur dan bisa juga menyebabkan kematian penyu secara perlahan. (siberindo/as/beb/red)