Hari-Hari Merapuh
(Catatan Awal Tahun)
lalu kau bilang
semua sia-sia saja
akhirnya
hari-hari merapuh
bulan silih berganti dan
tahuntahun hanya
datang dan pergi
lalu mengapa kita diam di sini?
baiklah sayang, tampaknya benar
aku harus belajar
melupakan yang fana ini
jika aku berkeras membatu,
waktu tetap akan memaksaku jadi abu
meski aku memilih jadi debu -hanya sebatas itu-
aku tetap ingin sampai pada hidung dan bibirmu
yang kuingat kala itu begitu mancung dan ranum
dan bulu tipis yang membayang
begitu samar diantaranya
dulu betapa ingin ku kecup lembut
dan matamu terpejam
nyatanya kau benar : hari merapuh lalu meranggas bagai dahan pohon tua dan bulan juga tahun hanya kenangan di lembar almanak bergambar
dan kita hanya debu yang menjelma abu dalam tiupan angin
pagi sebelum hujan datang dan kita berkemas melipati setiap kenangan yang singgah
di sini
dari tempat yang hanya kita capai lewat mimpi
kau benar sayangku :
hari-hari begitu rapuh.
1 Januari 2021
Di Penjara Kata-Kata
Tapi dimana mesti kuletakkan
tanda tanya ?
Seribu kata dapat menghunjam bagai
anak panah
namun barangkali tak cukup berguna.
Andai pun kita punya sayap dan terbang hingga puncak Capitoline,
kata-kata hanya akan luruh menjadi abu,
terbang
tanpa bentuk.
Dan kembali kita terpenjara di sana, oleh kata yang lain
yang hanya serupa janji kampanye
atau surat pengakuan hutang.
Dalam kerumunan
kata- arti menjadi begitu ramai dan kita
saling terperangkap didalamnya.
Ketika kata menjelma sungai
dan kita adalah jala yang berenang di dasarnya,
menjaring kata
berarti menyelam di antara
bangkai kayu berlumut yang kelam
oleh waktu,
yang tik tak sepanjang perjalanan
kaki kita yang letih.
Namun sayang,
seperti Cicero
aku mungkin hanya punya kata
yang serupa gasing terkadang menjelma angka-angka dari kalkulator buram.
Dan sungguh ingin aku tuliskan
agar abadi- bahwa hidup ku adalah rangkaian gerbong dengan kabin-kabin yang lengang.
Di situlah aku
melaju dari stasiun ke stasiun- dalam perjalanan itu, huma dan hamparan sawah hanya sebaris bayangan dan tak mampu lagi ku catat, dan ketika itu bayanganmu menjelma samar.
Dan
aku khawatir segera terlupa denting suaramu oleh tindas roda kereta pada sepasang rel itu-yang iramanya sungguh monoton.
Namun sayang, cukuplah untuk kita kenang
sebagai kebaikan, dari masa-masa yang mengandung harapan,
ketika kita memaksa untuk membaca rahasia Tuhan.
Tali temali yang menyatukan kekuatan
juga ombak di pulau-pulau
atau perjalanan di sepanjang ladang tebu dan semua hal yang aku begitu merasa sedih mengingatnya.
Terasa bagiku semua itu hanya buih
yang lerai
dan kata, hanya guliran waktu yang lagi-lagi menggulung kita bagai badai tsunami. dan kita hanya kota yang tersisa sejak kita sadari
hanya sepi yang kita punya,
maka, terimalah.
2020
*Agusri Junaidi, lahir sampai remaja di Way Kanan, sejak SMA pada tahun 93 ia menetap di Bandar Lampung. Bekerja sebagai ASN, ia menjadikan literasi sebagai gaya hidup. Karya-karyanya berbentuk cerpen dan puusi tersebar dalam berbagai antologi, media cetak dan online. Dua buku puisi antologi tunggalnya, Lelaki yang menyimpan kata-kata di saku benaknya (2019) dan Wajah Musin (2020) diterbitkan oleh Siger Publisher. Ia Aktif di berbagai organisasi dan pernah menjabat sebagai Direktur Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS (2019-2020). Saat ini menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung Utara.