PUISI-PUISI KARYA AGUSRI JUNAIDI*

Opini & Puisi

Hari-Hari Merapuh

(Catatan Awal Tahun) 

lalu kau bilang

semua sia-sia saja

akhirnya

hari-hari merapuh

bulan silih berganti dan

tahuntahun hanya

datang dan pergi

lalu mengapa kita diam di sini?

baiklah sayang, tampaknya benar

aku harus belajar

melupakan yang fana ini

jika aku berkeras membatu,

waktu tetap akan memaksaku jadi abu

meski aku memilih jadi debu -hanya sebatas itu-

aku tetap ingin sampai pada hidung dan bibirmu

yang kuingat kala itu begitu mancung dan ranum

dan bulu tipis yang membayang

begitu samar diantaranya

dulu betapa ingin ku kecup lembut

dan matamu terpejam

nyatanya kau benar : hari merapuh lalu meranggas bagai dahan pohon tua dan bulan juga tahun hanya kenangan di lembar almanak bergambar

dan kita hanya debu yang menjelma abu dalam tiupan angin

pagi sebelum hujan datang dan kita berkemas melipati setiap kenangan yang singgah

di sini

dari tempat yang hanya kita capai lewat mimpi

kau benar sayangku :

hari-hari begitu rapuh.

 

1 Januari 2021

 

Di Penjara Kata-Kata

Tapi dimana mesti kuletakkan

tanda tanya ?

Seribu kata dapat menghunjam bagai

anak panah

namun barangkali tak cukup berguna.

Andai pun kita punya sayap dan terbang hingga puncak Capitoline,

kata-kata hanya akan luruh menjadi abu,

terbang

tanpa bentuk.

Dan kembali kita terpenjara di sana, oleh kata yang lain

yang hanya serupa janji kampanye

atau surat pengakuan hutang.

Dalam kerumunan

kata- arti menjadi begitu ramai dan kita

saling terperangkap didalamnya.

Ketika kata menjelma sungai

dan kita adalah jala yang berenang di dasarnya,

menjaring kata

berarti menyelam di antara

bangkai kayu berlumut yang kelam

oleh waktu,

Baca Juga :  Hari Puisi Indonesia 2021

yang tik tak sepanjang perjalanan

kaki kita yang letih.

Namun sayang,

seperti Cicero

aku mungkin hanya punya kata

yang serupa gasing terkadang menjelma  angka-angka dari kalkulator buram.

Dan sungguh ingin aku tuliskan

agar abadi- bahwa hidup ku adalah rangkaian gerbong dengan kabin-kabin yang lengang.

Di situlah aku

melaju dari stasiun ke stasiun- dalam perjalanan itu, huma dan hamparan sawah hanya sebaris bayangan dan tak mampu lagi ku catat, dan ketika itu bayanganmu menjelma samar.

Dan

aku khawatir segera terlupa denting suaramu oleh tindas roda kereta pada sepasang rel itu-yang iramanya sungguh monoton.

Namun sayang, cukuplah untuk kita kenang

sebagai kebaikan, dari masa-masa yang mengandung harapan,

ketika kita memaksa untuk membaca rahasia Tuhan.

Tali temali yang menyatukan kekuatan

juga ombak di pulau-pulau

atau perjalanan di sepanjang ladang tebu dan semua hal yang aku begitu merasa sedih mengingatnya.

Terasa bagiku semua itu hanya buih

yang lerai

dan kata, hanya guliran waktu yang lagi-lagi menggulung kita bagai badai tsunami. dan kita hanya kota yang tersisa sejak kita sadari

hanya sepi yang kita punya,

maka, terimalah.

2020

 

*Agusri Junaidi, lahir sampai remaja di Way Kanan, sejak SMA pada tahun 93 ia menetap di Bandar Lampung. Bekerja sebagai ASN,  ia menjadikan literasi sebagai gaya hidup. Karya-karyanya berbentuk cerpen dan puusi tersebar dalam berbagai antologi, media cetak dan online. Dua buku puisi antologi tunggalnya, Lelaki yang menyimpan kata-kata di saku benaknya (2019) dan Wajah Musin (2020) diterbitkan oleh Siger Publisher. Ia Aktif di berbagai organisasi dan pernah menjabat sebagai Direktur Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS (2019-2020). Saat ini menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung Utara.

Baca Juga :  Bisakah Persoalan Sampah di Bumi Ragem Tunas Lampung Memiliki Nilai Ekonomis Tak Hanya Berakhir di TPA? Bisa!