Pemimpin Bangsa Harus Jadi Garda Terdepan untuk Melestarikan Alam dan Menyelamatkan Bumi Indonesia

Khasanah & Ragam Budaya

Jakarta (Restorasi News Siber Indonesia/SMSI) – Sejak awal Januari 2021, serentetan bencana alam dan peristiwa musibah lainnya melanda Indonesia.

Mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ 182 di perairan Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; gempa bumi yang meluluhlantakkan di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, longsor di Sumedang, Jawa Barat; juga bencana banjir di Manado, Pidie Aceh, Kota Malang, dan di sejumlah tempat.

Sebagian besar dari bencana itu menimbulkan korban jiwa serta kerugian materi yang tidak sedikit. Masyarakat yang terkena musibah umumnya tidak hanya kehilangan harta benda, tetapi juga trauma atas apa yang mereka alami.

Apakah itu cukup diatasi dengan bantuan untuk korban bencana, seperti makanan, pakaian, bahkan uang? Tentu tidak.

Para pemimpin negeri ini dipastikan sudah tahu, bahkan sangat tahu, penyebab segala bencana yang terjadi di Nusantara.

Terlebih, bencana alam seperti banjir, longsor, dan lainnya. Bencana alam sering terjadi akibat perusakan lingkungan.

Banyak pihak sudah sangat paham, jika musim hujan akibat yang ditimbulkan dari perusakan lingkungan itu berupa banjir dan longsor.

Saat musim kemarau tiba akan terjadi kekeringan, kebakaran hutan, baik disebabkan faktor kesengajaan ataupun tidak.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sering mempermasalahkan soal kerusakan lingkungan. Baru-baru ini, terkait dengan banjir di Kalimantan Selatan, Walhi setempat menuding bencana yang terjadi disebabkan oleh izin pertambangan dan perkebunan sawit yang serampangan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, dengan tegas menyatakan, banjir besar di Kalimantan Selatan bukan hanya karena cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di wilayah itu.

Apa yang dikatakan jelas tak terbantahkan, termasuk penyebab terjadinya musibah alam di sejumlah proviinsi lainnya, dari Aceh hingga Papua. Lalu, ini tanggungjawab siapa?

Baca Juga :  BURUAN DAFTAR LINDUNGI DIRIMU UNTUK KELUARGA, MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA !!

Pemerintah harusnya tidak hanya memberi izin pengolahan alam, entah itu untuk tambang, perkebunan, dan lainnya. Tetapi juga mengawasi apakah izin yang diberikan tidak disalahgunakan.

Ini penting, karena tidak sedikit kecurangan dilakukan pihak yang mendapat izin.

Di Kalsel saja misalnya, Walhi setempat menemukan sepanjang tahun 2020 terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif termasuk yang ditinggal tanpa reklamasi, juga perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah.

Bisa jadi perusakan alam dan lingkungan tidak hanya terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan di sejumlah pulau di luar Jawa lainnya. Tidak tertutup kemunginan perusakan lingkungan juga terjadi di Pulau Jawa, bahkan di kota-kota besar.

Resepan air dijadikan pemukiman, pusat bisnis, dan lainnya. Banjir dan longsor bukti bagaimana alam tidak lagi bersahabat. Alam memperingatkan kita, bumi di Indonesia memerlukan perhatian serius dari pengambil kebijakan.

Kepedulian para pemimpin sangat dibutuhkan. Musibah atau bencana tidak boleh terus terjadi. Para pengambil keputusan harus bergerak cepat, menghambat terus berulangnya musibah demi musibah atau bencana. Apalagi saat ini, bahkan masyarakat dunia masih dihantui pandemi virus Corona-19.

Pemimpin harus berada di barisan terdepan, berusaha mengatasi penyebab berbagai bencana. Bukan justru aji mumpung, memanfaatkan jabatan mencari keuntungan yang berakibat rusaknya alam.

Sedang rakyat jadikanlah bencana atau musibah yang dialami untuk merenung. Mengoreksi diri, apa yang telah dilakukan selama ini. (mimbar-rakyat/siberindo/red)