Minak Kemala Bumi Penyebar Islam Di Lampung

Khasanah & Ragam Budaya

Ditulis oleh : Warseno *

Jika pada edisi sebelumnya, Genta Merah mengulas Kerajaan Tulangbawang, sebelum masuk Islam, kali ini akan kembali diulas kerajaan tersebut, tentunya setelah Islam masuk ke Lampung.

Rangkaian cerita yang masih dituturkan oleh Assa’ih Akip, keturunan ke- 21 dari Raja Tulangbawang.

Lelaki paruh baya yang masih bersemangat dengan legenda kerjaan Tuba tersebut, melanjutkan ceritanya dengan menuturkan, Banten dan Lampung menganut Agama Islam pada abad XV Masehi.

Menurut buku Pri Hidup Nabi Muhammad SAW, karangan Zainal Arifin Abbas halaman 626, beberapa tahun sebelum kedatangan Minak Kemala Bumi dari Banten, telah memeluk agama Islam.

Zainal Arifin Abbas dalam sebuah tulisannya, Banten dan Lampung memeluk Agama Islam dalam waktu yang sama, yakni pada abad XV Masehi.

Pada tahun 1554 Masehi, Minak Kemala Bumi ke Banten untuk mempelajari Agama Islam.

Salah seorang keturunan Raja Tulangbawang tersebut datang ke Banten, menepati permintaan Sultan Banten.

Seperti yang diinginkan Sultan Banten itu, Minak Kemala Bumi dapat meneruskan rencananya untuk mengalahkan Palembang, guna menebus kegagalan ayahanda, Tuan Rio Mangku Bumi, maka harus datang ke Banten lebih dahulu.

Ternyata, kedatangannya kembali ke Banten, bukan semata karena akan diberikan restu dan bantuan untuk mengalahkan Palembang.

Ternyata Sultan Banten berhasil mempropaganda penguasa Tuba tersebut dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam.

Ternyata ajaran tersebut dapat diterima Minak Kemala Bumi.

Dengan nama Allah, orang nomor satu di kerajaan Tuba tersebut langsung berikrar masuk Islam.

“Mulai hari ini, saya memeluk Agama Islam,” ujar sang raja.

Ucapan dua kalimah sahadat pun langsung dikumandangkannya dengan khidmat.

Tidak ada yang kusembah selain Allah, dan aku naik saksi bahwa Muhammad itu Rasulallah.

Keyakinannya yang penuh untuk memeluk agama Islam, ternyata membuat Minak Kemala Bumi, mempelajari dengan sepenuh hati ajaran tersebut.

Bahkan setelah pengetahuan dan kayakinan barunya itu dapat ditimba di Banten, Minak Kemala Bumi bertekad mempelajari ilmu Agama Islam di kota Mekkah.

Kemudian, suami Putri Balau itu pun menunaikan Ibadah Haji.

Di Mekkah, Pangeran Tuba yang kemudian dinobatkan menjadi raja itu memperdalam hakekat-hakekat Islam dengan mempelajari ilmu syariat, ilmu-ilmu hakekat, ilmu thorikat, dan ilmu ma’rifatullah.

Bahkan, 30 juz Kitabullah (AL QUR’ANULKARIM) dapat dikhatamkan.

Dari 6666 ayat yang ada di dalamnya dipelajari dan diazati satu persatu akan maksud dan makna di dalam hakiki mutlak wujud, mutiara apa yang terkandung dalam firman-firman Allah itu.

Tidak ketinggalan ilmu Furqon maupun Hadist, baik wajib maupun sunnat, halal maupun haram, makruh dan mubah, dan jaiz, dikaji isi dan intinya.

Tauhid-Fiqih, Nahu-Syarof, Tajuit-Idhrom, begitu juga dalil-dalil, arti serta makna, gambar dan huruf, lafas suara dihitung dan dibilang sampai ke akar-akarnya.

Baca Juga :  Tokek dan Mitos yang Berkembang Seputar Kehidupannya

Setelah dirasakan cukup, terbetiklah niat dalam hatinya, untuk kembali pulang ke Lampung.

Apa yang telah ditimbanya tersebut, kemudian disebarluaskan kepada masayarakatnya.

Dalam perjalanan pulang, timbul dalam hati akan menuntut balas sumpah amanat orang tuanya, Tuan Rio Mangku Bumi.

Bisikan setan yang menggodanya untuk balas dendam berkali-kali terngiang.

Namun, berkali-kali pula suara iman menahannya.

Di telinganya seakan-akan ada yang membisikkan “Tuntutlah kegagalan orang tuamu dengan syiar Agama Islam yang kau bawa ini”.

Mendengar kata-kata tersebut, maka diputuskannya pulang ke Lampung melalui Palembang.

Di dalam buku Prihidup Muhammad SAW, dikatakan Zainal Arifin Abbas halaman 627, setelah dari Mekkah, Minak Kemala Bumi ke Palembang kemudian ke Lampung.

Sejak kedatangannya dari Mekkah, niat membalas dendam ke Palembang berangsur-angsur hilang dari lubuk hatinya.

Namun, secara tidak langsung, pembalasan dendam itu sudah dilaksanakan di saat mengambil orangtuanya yang ditawan Sultan Palembang.

Raja Tulangbawang, Hi. Pejurit Hidayatullah Kerajaan Tulangbawang, pernah berhadapan dengan Kerajaan Sriwijaya.

Bal ini dapat dilihat di Pulau Gerunggang di hulu Kota Palembang.

Di tempat tersebut terdapat makam Minak Cekai Dilangek dan Minak Tebesu Rawang, dua Panglima Tuan Rio Mangku Bumi yang tangguh dan sakti.

Keduanya dimakamkan di tempat tersebut, belum di dapat keterangan yang jelas.

Namun, meninggalnya bukan pada masa Tuan Rio Mangku Bumi, saat menyerang Palembang.

“Di Rumah Bari, di Palembang, yang disebut museum, di sana terdapat beberapa kamar. Dari tiap-tiap kamar berisikan barang-barang purba dari tiap daerah. Di salah satu kamar, berisikan barang purba daerah Lampung dan daerah Palembang sendiri. Sebuah tombak yang bentuknya sangat kuno terdapat di kamar tersebut. Menurut keterangan penunggu rumah itu, tombak tersebut adalah tombak pusaka dari Kerajaan Tulangbawang,” kata Akip.

Di lokasi itu juga dapat dilihat tempat bubu dan jala, alat penangkap ikan orang Lampung.

Di samping kamar tersebut, terdapat bekas kemudi perahu Lampung pada zaman dahulu yang hanya tinggal sepotong dengan lebar kemudi lebih kurang 100 cm.

Sayangnya, juru kunci museum tersebut juga tidak mengetahui siapa nama raja Palembang saat terjadi penyerangan dari kerjaaan Tuba.

Karena ternyata, sampai saat ini, Raja Palembang itu tidak ada makamnya.

Yang ada hanya makam para panglima-panglimanya, seperti di bukit Siguntang, di Satu Ilir, Talang Keranga, di Kebun Gedek Suro dan lain-lainnya.

Panglima-panglima yang termakam di bukit Siguntang tersebut; si Lebar Daun, si Gentar Alam, dan panglima si Miring Kapal, juga ada Tuan Putri Kembang Dadar, yakni Putri dari Caylon.

Jelas di sini bahwa di Palembang pun ada cerita turun-temurun tentang kejadian antara Palembang-Lampung pada zaman dahulu yang pernah terjadi perselisihan.

Baca Juga :  Mau Tahu Kenapa Kaum Hawa Suku Baduy Kerap Terlihat Cantik Meski Tanpa Makeup?

Hanya kita sesalkan, baik di Lampung ataupun Palembang, sama-sama tidak mempunyai bukti tertulis.

Sepeninggal Minak Kemala Bumi ternyata sejarah kapan Minak Kemala Bumi wafat dan di mana dimakamkan, tabir riwayatnya tersembunyi.

Raja Penutup atau terakhir di Kerjaan Tulangbawang itu tidak ingin namanya tercantum dalam buku penjelajahan Belanda.

Adapun makamnya berada di suatu kampung yang terpencil dan sunyi dari dunia ramai, jauh dari segala hiruk-pikuk.

Kampung Pagar Dewa inilah yang menjadi pesemayaman terakhir Minak Kemala Bumi.

Begitu juga Sultan Haji Syech Moh. Syaleh Dalam Mansyur, salah seorang anak keturunan Sultan Maulana Hasanuddin, mengasingkan diri dari Banten ikut berkemah bersama-sama putra cicit Maulana Hasanuddin lainnya yang gugur dalam peperangan Gayau di daratan kampung Pagar Dewa ini.

Di tempat itulah, mereka melepaskan lelah yang terakhir dan menandakan batu-batu nisan.

Perang Gayau pada abad XIX di Pagar Dewa digemparkan oleh suatu peperangan Gayau.

Peperangan ini adalah perlawanan penduduk Pagar Dewa melawan Pemerintahan kolonial Belanda yang ingin menghasut dan mengadu domba sesama suku di daerah tersebut.

Rakyat Pagar Dewa yang fanatik akan Agama Islam benci melihat orang-orang kafir seperti Belanda.

Timbulah amarah rakyat dan terjadilah peperangan Gayau lebih kurang tujuh hari tujuh malam, di bawah pimpinan anak-anak Sultan Haji Syech Moch. Dalam Mansyur; Hi. Abdullatif, Hi. Moh Umar Nabak Bayou dan Tubagus Syukur.

Kemarahan rakyat semakin menjadi, setelah hilangnya Raden Muhammmad, cucu Sultan Haji Syech Moh. Syaleh Dalam Mansyur.

Masih banyak lagi yang terjadi setelah meninggalnya Hi. Pejurit Hidayatullah.

Dalam buku Basati dkk. pada tahun 1682, untuk pertama kalinya Belanda mengarungi sungai Tulangbawang dan mendirikan Loji (gudang) tempat penimbunan hasil-hasil bumi daerah itu.

Sebelum kedatangan Belanda tersebut, di sungai Tulangbawang telah dimasuki oleh pasukan Sultan Iskandar dari Aceh untuk mengumpulkan hasil-hasil bumi daerah.

Aceh memang suatu daerah yang lebih dahulu maju, lebih dahulu menerima kedatangan Agama Islam dan lebih dahulu pula mengadakan hubungan dengan luar negeri daripada daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Oleh karena itu, tidak heran jika mereka sampai masuk ke daerah ini.

Setelah pasukan Sultan Aceh melihat kedatangan Belanda, maka timbulah persaingan dagang antara kedua bangsa yang memang sudah lama menjadi musuh bebuyutan.

Pasukan Sultan Aceh tidak senang atas kedatangan Belanda.

Kemarahan dari kedua pihak tak tertahan lagi. Maka meletuslah Perang Aceh-Belanda di sungai Tulangbawang.

Peperangan itu tepat berada antara Pagar Dewa dengan Negeri Besar.

Mengingat Aceh adalah keturunan bangsa dan seagama, maka dengan sendirinya penduduk Pagar Dewa sekitarnya turun tangan memberikan bantuan kepada pasukan Aceh.

Dari kejadian ini, rakyat Pagar Dewa seluruhnya mulai menaruh benci kepada Belanda dan bangsa kafir pada umumnya terlihat waktu peperangan di Pulau Daging dekat Menggala akhir abad XVIII.

Baca Juga :  Sempat Populer sebagai Industri Kreatif, Batu Akik akankah Kembali Booming?

Pasukan Sultan Aceh yang sangat sedikit dengan senjata sangat sederhana dengan mudah Belanda dapat menundukan pasukan Aceh yang dibantu rakyat Pagar Dewa, pada tahun 1704.

Pada tahun 1738, Belanda bukan lagi mendirikan loji, bahkan semakin memperkuat pertahannya dengan mendirikan Benteng Fort Volkenoog, di Bumi Agung Waykanan.

Belanda menunggu saat yang baik untuk memproklamirkan penjajahannya di Lampung.

Abad XVII timbul pemberontakan kecil-kecilan, namun dapat dipadamkan Belanda secara diam-diam.

Sekitar abad ke XVIII, Tiongkok untuk kedua kalinya menjelajah Tulangbawang.

Penjelajahan yang pertama dilakukan oleh pendeta I Tsing dalam perjalanannya menuju India singgah ke sungai Tulangbawang.

Menurut buku Basati dkk pada tahun 671, pendeta itu mengadakan pencatatan-pencatatan tentang Kerajaan Tulangbawang.

Ternyata, Kerajaan Tuba rakyatnya lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang dikunjunginya dalam perjalanan menuju India untuk memperdalam agama Budha.

Di Tulangbawang, penduduknya telah pandai membuat gula dan alat senjata dari besi.

Kedatangan seorang Tiongkok pada pertengahan abad ke XVIII dengan sebuah kapal, di bawah pimpinan kKapten Tuhlang Fuhweng untuk mengeruk hasil bumi dengan cara kekerasan.

Sudah barang tentu rakyat Menggala, marah.

Terjadilah perlawanan rakyat Tulangbawang di bawah pimpinan Panglima Minak  Sengaji dan Minak Geti (sekarang menurunkan Marga Buai Bulan dan Swai umpu di Menggala).

Peperangan tidak dapat terkendali. Mayat satu kapal Cina itu dilemparkan ke atas sebuah Pulau dekat Ujung Gunung, yang sekarang terkenal dengan nama Pulau Daging.

Kapal Cina itu, menurut keterangan, tenggelam di dekat pulau ini.

Tidak lama dari kejadian tersebut, Belanda meresmikan penjajahannya di Lampung, pada tahun 1808 (Buku Basati dkk).

Kepala pemerintahan Belanda berpangkat Asisten Residen dan berkedudukan di Menggala, semakin kukuhlah cengkraman Belanda di bidang ekonomi dan politik di daerah Lampung.

Kemudian, Menggala dijadikan VEM, pelemparan lada Lampung ke Amsterdam.

Lada yang dibawa Belanda yang dikenal di bawah permukaan laut, adalah lada hitam Lampung, maka Menggala dikenal Lampung Black dan Paris van Lampung.

Tahun 1808 adalah tahun sejarah Lampung yang ditulis dengan tinta hitam.

Tahun perletakan batu pertama penjajahan di sungai Tulangbawang, khususnya dan Lampung pada umumnya.

Sedangkan sebelum tahun 1808, Belanda telah memasuki Lampung di sungai Tulangbawang pada tahun 1682.

Pada tahun tersebut, Banten menandatangani perjanjian yang diadakan oleh Sultan Haji. ***

Catatan Redaksi : (*) Penulis adalah owner media gentamerah.com dan pengurus Media Nusantara Network (MNN).

Redaksi tidak mengubah isi tulisan.

Artikel ini telah diterbitkan di media online gentamerah.com dan dirilis ulang dengan judul dan isi yang sama.