Harimau Sumatera Terancam Punah, Stop Perluasan Areal Perkebunan Sawit di Sumbar

Khasanah & Ragam Budaya

SUMATERA BARAT (RNSI/SMSI) – Seekor Harimau Sumatera muncul di tengah para pekerja saat membuka lahan yang akan dijadikan area perkebunan sawit.

Kemunculan harimau keluar dari hutan itu terjadi Nagari Situak Ujung Gading, Kecamatan Lembah Malintang, Pasaman Barat, Sumatera Barat, pada 17 Januari lalu.

Hal itu terekam dalam video amatir pekerja dengan durasi satu detik dan beredar baru-baru ini di media sosial.

Dilansir melalui laman resmi Mongabay Indonesia.co.id., seekor Harimau Sumatera berdiri di tanah dengan pohon baru ditebang.

Tampak di depannya alat berat sedang dioperasikan seorang pekerja.

Terkesan, harimau tersebut berusaha mencegah para pekerja membuka lahan.

Bahkan, Raja Hutan itupun tampak rebahan sembari memperhatikan gerak-gerik para pekerja.

Adapun lokasi harimau yang terlihat sedang memperhatikan para pekerja menebang pohon itu berada di perkebunan sawit PT. Sinar Halomoon, sekitar 1,5 kilometer dari hutan lindung.

Para pekerja perusahaan perkebunan sedang membuka lahan.

Mengetahui hal itu, Tim BKSDA Sumatera Barat (Sumbar) berkoordinasi dengan pemerintah daerah (bupati dan wali nagari), kepolisian, manajemen perkebunan, serta Dinas Kehutanan setempat untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan, seperti menghentikan pembukaan jalan dan penggiringan harimau pakai meriam karbit, selama tiga hari.

Hasil pemantauan pada 18-20 Januari 2022 lalu, Harimau Sumatera itu tak lagi menampakkan diri.

Kemungkinan besar kembali berpindah ke hutan lindung.

Kemunculan harimau di Pasaman Barat ini, menambah panjang daftar satwa langka dilindungi ini yang bersinggungan dengan manusia di Sumbar.

Dari data BKSDA Sumbar menunjukkan, sepanjang 2021 lalu, ada 16 kasus perjumpaan atau konflik harimau dengan manusia.

Dari jumlah itu, 14 pengusiran, satu lepas liar, dan satu lagi harimau mati.

Memasuki 2022, sudah dua kali harimau muncul di daerah yang dibuka manusia.

Sebelumnya, awal Januari, harimau masuk perkampungan dan memangsa ternak warga di Agam.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar, Ardi Andono, mengatakan, kemunculan harimau itu diduga karena merasa terganggu.

”Saya sudah minta ke humas perusahaan agar menghentikan dulu seluruh kegiatan di sana,” katanya, dalam rilis kepada media, yang dilansir melalui laman mongabay.co.id, Sabtu, 5 Februari 2022.

Baca Juga :  Adab Kepada Habaib / Keluarga Rasulullah SAW

Tim BKSDA juga turun ke lokasi untuk pengusiran dengan bebunyian meriam karbit.

Tim juga akan mengidentifikasi dan mengecek ada berapa harimau di sana.

”Lokasi ini di perkebunan sawit dekat hutan lindung lanskap Panti Batang Gadis,” jelas Ardi Andono.

Belakangan ini, lanjutnya, banyak harimau di Sumatera Barat keluar dari hutan dan umumnya berjenis kelamin betina.

”Kami mau bikin analisis dulu, konektivitasnya seperti apa, mengapa betina banyak keluar? Apakah ada fenomena baru, musim kawin, atau sebagainya? Ini yang hendak kami cari tahu,” terangnya.

Kalau kemunculan harimau ini sekadar fenomena daur hidup, kata Ardi, seperti perkawinan dan membesarkan anak, tentu hal lumrah.

Namun sebaliknya, kalau kemunculan terkait perambahan hutan, perburuan, dan kekurangan pakan, itu berbahaya dan perlu upaya intensif dalam menanganinya.

Sementara itu, Sunarto, Research Associate Institute for Sustainable Earth & Resources (I-SER), Universitas Indonesia, menyebut, kasus harimau seperti yang didokumentasikan dari dalam alat berat ini bukan kali pertama terjadi di Sumatera.

Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di Riau, beberapa tahun silam.

Ketika itu, harimau terlihat tidak jauh dari alat berat yang sedang memanen kayu di hutan tanaman industri.

Kasus di Sumatera Barat ini terjadi di konsesi perkebunan sawit. Informasinya, pekerja sedang memperbaiki jalan perkebunan.

Dari dokumentasi itu memang terlihat ada tanaman sawit di latar belakang.

Sementara harimau berada di semak belukar yang bercampur hutan sekunder.

“Kejadian ini kembali mengingatkan kita bahwa hidup berdampingan dengan satwa liar adalah suatu keniscayaan,” jelas Sunaryo, melalui Mongabay.co.id.

Dikatakannya, ada beberapa hal yang dapat dan perlu terus diupayakan agar manusia dan satwa dapat hidup berdampingan dan tak saling merugikan.

Pertama, masyarakat perlu memahami keberadaan satwa di sekitar diperlukan sebagai penjaga dan penyeimbang ekosistem.

Kedua, satwa memerlukan habitat dan ruang gerak yang memadai.

“Gangguan pada satu spot habitat dapat berdampak pada pola gerak satwa,” sebut Sunarto, melalui pesan WhatsApp baru-baru ini, kepada Mongabay.co.id.

Baca Juga :  Congratulation!

Ketiga, perlu dipahami, perilaku satwa.

Setiap spesies atau individu satwa memiliki karakter ekologi, perilaku, serta tabiat berbeda-beda, seperti juga manusia.

Keempat, beberapa jenis satwa, termasuk harimau, sudah sangat terancam punah.

“Habitatnya banyak terdesak, mereka juga mendapat tekanan dari perburuan. Tempat-tempat yang masih dihuni satwa langka sebaiknya dijaga agar tidak dirusak. Ini memerlukan pemahaman, komitmen dan sinergi berbagai pihak. Semoga kita semua dapat turut berkontribusi dalam upaya pemulihan satwa dan keanekaragaman hayati kita,” katanya.

Terpisah, Dosen Biologi Universitas Andalas, Wilson Novarino, mengatakan, Harimau Sumatera tersebar dari Aceh sampai Lampung, baik pada hamparan hutan luas, hutan terfragmentasi/terisolasi, sepanjang aliran sungai, bahkan di daerah hutan yang berbatasan dengan peladangan dan pemukiman.

Sebagai hewan pemangsa, harimau perlu daerah jelajah luas, baik untuk memenuhi kebutuhan pakan ataupun penguasaan wilayah, terkait aktivitas berbiak dan membesarkan anak.

Pada daerah hutan sempit atau terfragmentasi, katanya, untuk pemenuhan kebutuhan, harimau terkadang harus ke luar hutan untuk menuju daerah berhutan lain.

Saat inilah, kemungkinan perjumpaan manusia dengan harimau jadi makin meningkat.

Pada kondisi normal, biasanya, perjumpaan ini tidak menjadi permasalahan serius.

Masalah baru muncul ketika harimau yang berjumpa manusia dalam kondisi tidak normal, seperti ada cacat pada fisik, tingkah laku berubah, maupun stress (ada tekanan fisiologis).

“Semuanya juga berawal karena ada gangguan pada kondisi alami,” jelas Wilson.

Penyimpangan perilaku pada harimau bisa mengakibatkan ancaman bagi manusia.

Dan hal ini bisa saja berawal dari habitat tempat tinggal mereka terganggu.

Perubahan wilayah hutan jadi pemukiman, perkebunan, pertambangan, dan jalan, bisa mempersempit habitat harimau.

Tak heran, harimau jadi makin sering terlihat, baik saat masih berada pada habitat, ataupun ketika mereka berpindah antara wilayah hutan.

“Makin sempit wilayah hutan, juga bisa menyebabkan populasi harimau pada daerah itu jadi melebihi daya tampung, hingga memaksa harimau yang kalah bersaing keluar dari wilayah itu mencari wilayah baru,” katanya.

Begitu juga kalau penurunan daya dukung, seperti ketersediaan satwa mangsa (pakan) berkurang, baik karena perburuan, penyakit, memaksa harimau memperluas daerah jelajah untuk memenuhi kebutuhan pakan.

Baca Juga :  30 Persen Spesies Pohon di Bumi Terancam Punah akibat Penebangan dan Perubahan Iklim

Perburuan ataupun pemasangan jerat, katanya, bisa menyebabkan kecacatan pada harimau, ataupun ada anak yang tidak mendapatkan pembelajaran berburu yang cukup dari induknya.

Dalam kasus ini, sering memicu harimau memangsa ternak bahkan manusia.

Hal inilah yang sering dikenal dengan istilah konflik manusia dengan harimau.

Untuk jangka panjang, kata Wilson, masyarakat dan pemerintah perlu berhati-hati dalam melakukan aktivitas yang berhubungan dengan perubahan dalam hutan.

“Keberadaan harimau sampai saat ini di hutan Sumatera Barat, jelas bukti para leluhur kita bisa hidup berdampingan dengan harimau,” ungkap Wilson.

Pada banyak cerita rakyat, katanya, bahkan harimau merupakan satwa yang dihormati hingga sering juga disebut “inyiak”, yang identik dengan seseorang yang dituakan dan dihormati dalam budaya Minangkabau.

“Kita mesti menjaga kerharmonisan ini. Karena seperti kata pepatah, hilangnya suatu unsur keanekaragaman hayati pada suatu daerah akan memicu hilangnya suatu sisi budaya dari daerah itu,” tuturnya.

Dari keterangan Kepala Departemen Kajian, Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar, Tommy Adam, penyebab utama konflik satwa dan manusia di daerah itu adalah alih fungsi kawasan hutan jadi perkebunan.

“Pasaman Barat, salah satu kabupaten yang memiliki perkebunan sawit besar di Sumatera Barat. Pembukaan lahan baru terus menjadi ancaman bagi satwa dilindungi khusus Harimau Sumatera,” katanya.

Khusus Nagari Situak, Ujung Gading ini merupakan habitat harimau yang berada di kawasan hutan lindung.

Kawasan itu merupakan koridor yang menghubungkan sampai ke Rimbo Panti.

Untuk itu, dari segi regulasi, perlu ada perlindungan di wilayah habitat harimau, tidak hanya di kawasan konservasi.

Karena habitat harimau juga berada di hutan lindung bahkan hutan produksi yang sebagian wewenang berada di daerah.

Untuk itu, perlu upaya penyelamatan satwa dengan memastikan habitat mereka terlindungi dari aktifitas merusak (alih fungsi lahan) dan memastikan tak ada lagi penambahan izin perkebunan di sekitar hutan. (Mongabay.co.id/Vinolia/red)