BERDAGANG, INSPIRASI DAN SPIRIT ENTERPRENEURSHIP NUBUWWAH

Opini & Puisi

Esai:

Karya Irfan Yahya*)

Allah SWT menciptakan manusia dengan segudang kelebihan yang melekat padanya, melebihi makhluk-makhluk yang lain. Allah SWT pula yang memberi hak istimewa kepada manusia. Hak itu tidak diberikan-Nya kepada makhluk yang lain, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” Demikian firman Allah SWT   dalam Alquran pada surah Al-Israa’ ayat 70.

 

Ada banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita. Nikmat harta kekayaan adalah salah satunya. Bagi kita, harta kekayaan telah menjadi sesuatu yang sangat berharga, karena dengannya semua kebutuhan kita dapat tercukupi. Rumah, makan, sekolah, mobil, emas, perhiasan, dan lain sebagainya, semuanya bisa dimiliki dengan harta kekayaan yang kita miliki. Bahkan, konon, iman pun bisa dibeli dengan harta kekayaan. Na’uudzubillaah!

 

Wajarlah kemudian jika harta kekayaan pada akhirnya dapat menguji sejauh mana ketangguhan iman kita, sejauh mana kadar kualitas iman kita. Sesungguhnya harta kekayaan, dapat menghasilkan rahmat dan benar-benar menjadi nikmat yang luar biasa manakala diperoleh dan dibelanjakan dengan baik serta benar. Namun sebaliknya, harta kekayaan dapat menjadi musibah dan mengundang laknat dari Allah SWT manakala harta itu diraih dan dibelanjakan dengan cara batil.

 

Jika seandainya harta kekayaan itu digunakan untuk kemaslahatan umat, semisal, untuk bersedekah,  membantu fakir miskin, membangun masjid, membangun pesantren, membangun sarana beribadah, dan lain sebagainya, maka seperti gula yang selalu dicari dan disesaki semut, kemungkinan besar pemilik harta kekayaan tersebut akan disenangi oleh siapa pun.

 

Sebaliknya, jika harta kekayaan digunakan untuk kemaksiatan, mabuk-mabukan, zinah, menindas dan memperbudak kaum duafa, untuk berfoya-foya dan menyenangkan hawa nafsu, dan lain sebagainya, maka harta kekayaan itu akan menjelma menjadi racun yang siap membunuh pemiliknya kapan saja. Bukan hanya membunuh, tapi akan benar-benar menjerumuskannya ke dalam murka Allah SWT, dan hanya neraka jahanamlah balasannya.

 

Adalah hal yang sangat manusiawi, jika setiap manusia butuh harta kekayaan. Bahkan kebanyakan manusia tergila-gila dengan harta kekayaan. Apa pun siap digadaikan demi harta kekayaan. Karena itu, tidak aneh jika manusia selalu berlomba-lomba dalam mencari dan mengumpulkan harta kekayaan. Siang-malam, pagi-petang, lupa waktu, lupa keluarga, bahkan lupa kewajiban beribadah kepada Allah SWT. Na‘uudzubillaah! Padahal harta kekayaan yang dimiliki tidak ada satu pun yang dibawa mati.

 

Demikianlah, era ini, di dunia belahan mana pun, tidak Barat, tidak Timur, entah muslim, entah bukan, semua berbondong-bondong, sikat sana, sikut sini, memburu harta kekayaan. “Harta kekayaan tak kenal suku, ras, apalagi agama. harta kekayaan adalah segala-galanya,” demikian virus berbahaya yang saat ini, pelan namun pasti, menggerogoti manusia di belahan dunia mana pun, bahkan virus ini lebih mengerikan bila dibandingkan dengan virus Covid-19 yang melanda umat manusia saat ini dan tak jelas ujung pangkalnya.

 

Fenomena ini, disadari atau tidak sungguh mencekam dan mengerikan. Berapa banyak kita mendengar cerita, saudara-saudara kita yang hidup miskin, rela menanggalkan keyakinan agamanya demi harta kekayaan dan jaminan hidup yang layak. Na‘uudzubillaah! harta kekayaan benar-benar mampu membeli apa saja, tanpa kecuali iman. Ini sungguh mengerikan. Benar sekali apa yang disampaikan oleh baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadistnya: “Sesungguhnya kefakiran (kemiskinan) itu bisa menjerumuskan ke jurang kekafiran.”

 

Manusia merupakan sebaik-baik makhluk ciptaan Allah SWT. Tak hanya itu, manusia juga menjadi satu-satunya makhluk yang diberi akal pikiran dan dengan itu manusia mendapat amanah dari Allah SWT untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Hamparan bumi yang luas ini menjadi tugas dan tanggung jawab manusia untuk dikelola sesuai keinginan pencipta-Nya.

 

Lantas bagaimana mungkin manusia yang secara fitrah adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya diberi amanah untuk mengelola bumi, sementara amanah kepemimpinan hanya bisa dijalankan dengan baik jika manusia memiliki kemandirian, bukan hanya kemandiraan dalam hal harta kekayaan, tetapi dibutuhkan juga kemandirian dalam bersikap, kemandirian dalam bertindak. Dan yakinlah, jangan pernah bermimpi bahwa kemandiraan itu sesuatu yang jatuh dari langit dan kita pungut begitu saja.

 

Kemandirian merupakan hasil dari rangkaian episode panjang dari setiap prilaku yang dijalani manusia di masa silam, kini dan yang akan datang. Ikhtiar yang terus kita lakoni secara terus menerus, dari waktu ke waktu hingga menjadi kebiasaan (habit). Hanya manusia yang menghargai kemampuan dirinya yang akan menjadi manusia mandiri. Sebaliknya, manusia yang terbiasa menghinakan kemampuan dirinya niscaya akan menjadi sosok individu yang lemah sepanjang masa.

 

Kemandirian tidaklah lahir begitu saja, ia harus disemai dan dipupuk dengan benar di lingkungan yang tepat sejak usia dini dalam episode hidup manusia. Ibarat ayam, anak-anak yang biasa memaksimalkan kemampuan dirinya sejak kecil, laksana ayam kampung yang dilepas begitu saja di alam bebas untuk mencari makan, jika pagi tiba, sang pemilik tinggal melepaskan ayam-ayam itu dari kandangnya. Lalu dengan leluasa ayam-ayam tersebut akan bergerak mengikuti instingnya mencari makan. Hingga petang hari, ayam-ayam itu akan dimasukkan kembali ke dalam kandangnya. Dengan cara hidup semacam ini, ayam-ayam kampung itu tumbuh menjadi ayam-ayam yang kuat dan tahan banting.

 

Sebaliknya, anak-anak yang dimanja, ibarat ayam negeri yang setiap hari diberi vitamin dan disediakan makan dan minum. Bahkan, ayam-ayam tersebut dijaga sedemikian rupa untuk tidak menyentuh tanah. Kandangnya dilengkapi fasilitas pengatur suhu. Namun pada kenyataannya, ayam semacam ini tumbuh menjadi ayam yang tidak siap menghadapi satu problem kecil sekalipun. Sering kita jumpai ayam tersebut mati mendadak hanya gara-gara   mendengar suara kilat dan guntur. Yang semacam ini jarang sekali terjadi pada ayam kampung.

 

Adalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, hidup dalam kemiskinan sejak usianya masih dini. Kehidupan yang memprihatinkan terlihat bahwa ia tidak pernah membeli pakaian kecuali setahun sekali saja. Dari tahun ke tahun, ia hanya memiliki satu pakaian. Namun demikian, tubuh Muhammad tetap halus seperti sutera. Sebagaimana salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Anas: “Aku pernah menyalami tangan Rasulullah. Demi Allah, Aku tidak pernah menyentuh sutera yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah. Aku juga mencium wangi keringat Rasulullah. Demi Allah, aku tidak mencium minyak kesturi yang lebih wangi dan bersih dari wangi keringat beliau.”

 

Pamannya, Abu Thalib, yang pernah mengasuhnya, juga bukan orang kaya. Untuk meringankan beban pamannya, Muhammad kecil menggembala kambing milik Ibnu Abi Mu’ith dengan imbalan segenggam kurma. Atas segala kekurangan yang dialaminya, tak sekalipun ia berputus asa. Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah pribadi yang tak kenal menyerah, ia juga bukan seorang pemimpi yang mengisi hari-harinya dengan lamunan semata. Bagi Muhammad, ia boleh lahir dari keluarga miskin, namun kemiskinan tidak boleh lahir dalam dirinya.

 

Muhammad terus bergerak, mengisi hari penuh dengan semangat. Ia adalah pribadi yang realistis yang tak sedikit pun menjaga gengsi. Apa yang ada di hadapannya itulah yang ia jalani. Ketika anak-anak kecil kota Makkah seusianya tidak bisa melakukan usaha selain menggembala, Muhammad pun menjadikan kegiatan menggembala menjadi bagian dari hidupnya.

Baca Juga :  PUISI-PUISI KARYA AGUSRI JUNAIDI*

 

Di sini, ia memeroleh pelajaran yang berharga. Pelajaran yang kelak sangat berarti baginya ketika dewasa. Menggembala kambing merupakan sarana pendidikan tentang bagaimana mengatur manusia dan menata kehidupan mereka. Tak salah jika Muhammad akhirnya, tampil sebagai pengatur dan penata urusan manusia.

 

Saat memasuki usia remaja, ia pun tak mau menyia-nyiakan pengalamannya dalam berdagang. Ketika sang paman hendak memulai berdagang ke luar daerah, Muhammad pun memohon dengan amat sangat pada sang paman agar dibawa ikut serta. Hati pamannya pun luluh, Muhammad diajak serta.

 

Realitas-realitas seperti inilah yang membuat Muhammad berjiwa kokoh, tidak cengeng, selalu menggunakan kemampuannya untuk meringankan beban dan penderitaan orang lain, Dengan jiwa kokoh pula inilah merupakan modal Muhammad nantinya dalam menjalankan amanatnya sebagai Rasul di muka bumi ini. Jiwa kokoh yang kemunculannya tidak serta merta, namun diraih setelah melalui proses yang panjang. Ya, dengan begitu, Muhammad telah mengajari kita, bahwa kesuksesan tidak bisa diraih dengan serta merta, bim sala bim, sekali tepuk langsung sukses, melainkan dengan menghargai perjalanan dan proses yang sangat panjang. Karena memang begitulah rumus kesuksesan dari Allah SWT yang berlaku di atas bumi ini.

 

Sebagai seorang yang kelak menjadi tokoh besar sepanjang sejarah, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, memiliki banyak persfektif. Beliau bukan sekadar Nabi bagi umatnya saja, tapi juga sosok yang patut ditiru oleh manusia manapun melampaui batas-batas etnis dan agama. Beliau adalah suri teladan bagi segenap umat seantero penjuru dunia.

 

Namun sayang, dalam kapasitasnya yang begitu besar, kebanyakan literatur yang ditulis oleh para cerdik cendekiawan, acapkali hanya memandang beliau sebagai sosok Nabi bagi kaum muslimin. Sangat sedikit literatur yang mengekspos sosoknya sebagai entrepreneur ulung. Tidak salah jika sebagian orang kemudian meniru beliau sebatas simbol-simbol fisik keagamaan, dan bukan sosoknya secara substansi yang mampu mencerahkan umat manusia.

 

Andai hidup ini adalah telaga, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tak ubahnya seperti mata air. Darinya terpancar air kehidupan. Air itu mengalir jernih dan tiada henti. Dengannya kedahagaan yang kerap melingkupi insan segera sirna. Jernih karena air yang keluar darinya bersumber dari Sang Maha Suci, Al-Qudduus. Tiada henti sebab bermuara dari Sang Maha Hidup, Al-Hayyu, tidak mengherankan, bila kemudian, sosok Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi sumber inspirasi dan spirit bagi banyak manusia. Tutur katanya menarik disimak, nasihatnya menjadi cahaya, sabdanya menjadi acuan, perilakunya merupakan panduan. Oleh banyak kalangan, meski berbeda status sosial dan atribut dunaiwi lainnya, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi pencerahan dalam meniti langkah di hamparan episode kehidupan ini.

 

Di semua aspek, tanpa kecuali. Beliau adalah hamba Allah SWT yang senantiasa berada dalam bingkai ketaatan tiada tara. Dia adalah sosok pemimpin umat yang andal dengan segenap kebijakan sosial dan politik yang jitu. Panglima perang yang tangguh, dengan segudang strategi kepiawaian. Pemimpin bagi keluarganya, dengan cinta kasih dan kesantunan dalam berumah tangga. Dan juga, beliau, seorang entrepreneur sukses dalam meniti karier bisnisnya.

 

Belajar dari sepak terjang Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam meretas sukses bisnis sangatlah menarik. Liku-liku hidupnya semenjak dini menjadi landasan kukuh dalam menggerakkan roda hidup, tak terkecuali dalam bisnis yang ia geluti. Beliau lahir dari rahim bundanya tanpa mengenal ayah, menjalani masa belia di keluasan hamparan padang pasir yang tandus dan dalam bentangan cakrawala langit yang tiada bertepi. Tempaan lingkungan ini menghasilkan karakteristik spesifik yang terpatri di dalam dirinya. Dan inilah bekal utama baginya dalam berbisnis.

 

Sejak dini Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah ditempa dalam lingkungan semangat entrepreneur. Semangat kemandirian, kreatif, dan kemampuan mengambil risiko tumbuh baik dalam pribadinya. Sejak usia 12 tahun, ia telah melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang kini mencakup Syiria, Jordan dan Lebanon. Pada usia 17 tahun telah diserahi wewenang penuh untuk mengurusi seluruh bisnis pamannya. Dari rentang usia 17 tahun hingga 20 tahun adalah masa sulit dalam perjalanan bisnisnya. Hal ini terjadi karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain-pemain senior dalam perdagangan regional.

 

Ciri utama dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam saat itu adalah beliau sangat terkenal karena kejujurannya dan sangat amanah dalam memegang janji. Sehingga tidak ada satu pun orang yang berinteraksi dengan beliau, yang tak  mendapatkan kepuasan luar biasa. Dan ini merupakan sebuah nuansa dengan pesona tersendiri bagi warga Jazirah Arab. Apalagi kemuliaan akhlaknya seakan menebar pesona indah kepribadian.

 

Pun ketika beliau tidak memiliki uang untuk bisnis sendiri, ternyata beliau banyak menerima modal dari orang kaya Makkah yang tidak sanggup menjalankan bisnisnya sendiri. Mereka menyambut baik seorang yang jujur untuk menjalankan bisnis dengan dana yang mereka miliki berdasarkan kerjasama sistem bagi hasil, tanpa riba. Hal itu terwujud tiada lain karena sejak kecil Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah dikenal oleh penduduk sangat rajin dan penuh percaya diri.

 

Semua orang mahfum bahwa berbisnis adalah untuk mencetak keuntungan dan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pun membuktikannya 15 abad lalu dan mewariskan spiritnya hingga saat ini sampai akhir zaman sebagai regenerasi nilai-nilai. Hasil penelusuran jernih menunjukkan bahwa keberhasilan bisnis Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bermuara pada kualitas dirinya yang mumpuni sebagai seorang entrepreneur.

 

Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam memandang institusi bisnisnya selaras dengan prinsip-prinsip Celestial Management. Sebuah prinsip manajemen bisnis yang berbasis spiritual atau bisa disebut juga dengan manajemen Nubuwwah, Manajemen Ilahiah yang datang dari langit. Intisari dari manajemen ini adalah:

Pertama, beliau menjadikan bisnis sebagai sarana pengabdiannya terhadap Sang Maha Kuasa (Business is a place of Worship). Itulah sebabnya Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa mendasari bisnisnya dengan prinsip nubuwwah.

 

Kedua, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam memposisikan bisnisnya sebagai bagian dari upaya mendapatkan dan mendistribusikan kemakmuran (Business is a place of Wealth). Dalam konteks ini kita melihat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, selalu berupaya mengeksplorasi sumber-sumber kemakmuran dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan yang semakin efektif.

 

Ketiga, beliau menganggap bisnis sebagai upaya pertempuran melawan ketidakadilan, kezaliman, dan eksploitasi dalam bisnis yang tak mengindahkan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan itu sendiri (Business is a place of Werfare). Inilah yang dikenal dengan Celestial Paradigm.

 

Tak dapat dipungkiri bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan motor dan kekuatan perubahan, entrepreneur andal, dan pemimpin yang tak terkalahkan. Pengaruhnya terus berlangsung tiada henti, melingkupi rotasi bumi, hingga akhir zaman. Selain itu, kita pun dapat menangkap lintasan tarikh perniagaan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dicerna dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

 

Sejarah menegaskan, jauh sebelum masa kerasulannya, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dikenal sebagai entrepreneur sejati. Ia merintis usaha dari bawah dengan bermodalkan kepercayaan (trust), sehingga wajarlah ia mendapat gelar oleh penduduk kota Makkah sebagai “Al-Amiin” artinya orang yang terpercaya. Tak hanya dalam merintis usaha, tetapi juga sukses membangun kerajaan bisnis di Jazirah Arab waktu itu. Nyaris seluruh pelaku bisnis di Jazirah Arab mengenal, segan, dan terpengaruh cukup dalam pada pribadinya.

Baca Juga :  LEBARAN DAN PEMULUNG RENTA

 

Sesungguhnya kepercayaan yang diperoleh oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam ini tidak timbul begitu saja, melainkan dibangun secara merangkak, sedepa demi sedepa. Ibarat tanaman, kepercayaan terebut harus dipupuk dan disiram setiap saat agar tumbuh dan berbuah manis. Beliau sadar betul, hanya kepercayaanlah yang membuat orang lain respek terhadapnya. Sebuah modal besar bagi visi jangka panjangnya.

 

Bagi masyarakat Arab ketika itu, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam selain dikenal kenabiannya, ia juga masyhur dikenal sebagai sebuah “brand” yang memancarkan banyak arti, seperti kejujuran, keuletan, kreativitas dan visioner. Siapapun yang menjalin bisnis dengan beliau akan sangat menguntungkan. Tidak salah jika mitra bisnisnya berkembang ke mana-mana, tidak hanya dari kalangan bangsa Arab melainkan lintas etnik dan geografis.

 

Salah satu mitra bisnisnya yang sangat terkenal adalah Khadijah, seorang konglomerat Arab Quraisy kenamaan. Bahkan banyak kalangan yang menilai keberhasilannya bermitra dengan Khadijah lebih bernuansa politis daripada bisnis. Namun sesungguhnya, keberhasilan ini adalah sebuah upaya yang sangat visioner dari seorang Muhammad. Ia membangun aliansi strategis (strategic alliace) agar bisnisnya dapat tumbuh dan berkembang. Hal itu menjadi sebuah “river company” yang menyejahterakan khalayak ramai.

 

Apa yang disemai dan dipupuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sejak awal sesungguhnya merupakan alat pembelajaran yang penting bagi para entrepreney muda, tua, maupun bagi para calon entrepreneur. Bill Gates, And Groove, Muchtar Riadi dan seterusnya, semua berhasil karena keuluten dan kepercayaan. Bisnisnya berkembang bukan hanya untuk dirinya semata, melainkan juga untuk kemaslahatan masyarakat.

 

Merujuk pada episode awal-awal kehidupan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sang panutan hidup manusia akhir zaman, kita akan menemukan bagaimana sebuah kemandirian telah disemai dan dipupuk semenjak usianya yang masih dini. Sebagaimana diketahui, pada usianya yang masih belia.

 

Ketika anak-anak pada umumnya sedang asyik-asyiknya menikmati kehangatan kasih sayang orangtua, Muhammad justru berjuang menentang kerasnya kehidupan. Muhammad bukan tipe anak yang pantang menyerah. Atas segala rintangan yang menghadang, tak pernah ia berjalan menghindar, sebaliknya ia songsong masalah itu dengan solusi yang jernih. Muhammad kecil adalah karakter anak manusia yang memiliki ghirah perjuangan dan pertahanan hidup yang sangat tinggi.

 

Dalam keadaan yang serba kekurangan, naluri pertahanan hidup tumbuh dengan subur dalam diri Muhammad. Naluri ini yang mengukuhkan hatinya untuk melepaskan masa indah dunia kanak-kanak dengan menjadi penggembala kambing.

 

Kemudian, ketika usia Muhammad baru duabelas tahun, di mana untuk pertamakalinya ia mendapat pengalaman istimewa dalam berpetualangan. Ketika itu, pamannya Abu Thalib mengajak Muhammad ikut dalam misi dagang mereka ke Syiria. Setelah itu, satu persatu pengalaman demi pengalaman hinggap dalam kehidupan Muhammad kecil.

 

Alkisah, usia Muhammad terus beranjak, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Pamannya Abu Thalib, tak kenal henti mencurahkan kasih sayangnya. Selama dalam pengasuhan pamannya, Muhammad harus hidup penuh keprihatinan. Maklum, Abu Thalib tidak memiliki harta berlebih seperti Abdul Muthalib, kakek Muhammad. Ia pun kemudian berjuang mencari nafkah untuk membantu pamannya dan menghidupi dirinya sendiri.

 

Tidak ada pekerjaan tetap yang digeluti Muhammad. Meski demikian, Muhammad dikenal sebagai pemuda yang berakhlak mulia: jujur, amanah, santun, dan bersahaja. Setiap pekerjaan yang dilakoninya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh seratus persen. Kemuliaan akhlak Muhammad itu sampai terdengar ke telinga Khadijah binti Khuwailid. Seorang wanita yang berasal dari keluarga Bani Quraisy yang paling terkemuka dan sangat kaya raya. Dia membayar banyak kaum lelaki untuk berdagang dengan sistem bagi hasil.

 

Khadijah pun mengutus seseorang untuk mengajak Muhammad berniaga ke negeri Syam. Tawaran itu diterima Muhammad. Ia bergegas menemui Khadijah. Muhammad tiba di rumah Khadijah, ia mengucapkan salam dan meminta izin kepada Khadijah untuk masuk. Dialog pun terjadi. Khadijah langsung berbicara ke inti persoalan.

 

“Aku sedang butuh orang untuk menjual barang daganganku ke negeri Syam. Aku butuh orang yang jujur, dan dapat dipercaya. Aku tahu, engkau orang yang jujur dan dapat diandalkan. Aku yakin engkau adalah orang yang tepat, karenanya aku tawarkan pekerjaan ini kepadamu,” kata Khadijah.

 

Tidak banyak pikir, Muhammad lansung menerima tawaran itu. Persiapan keberangkatan pun dilakukan. Khadijah meminta pelayan terbaiknya, seorang budak laki-laki bernama Maesarah, sebagai asisten Muhammad. Tak lupa Khadijah membisikkan sesuatu kepada Maisarah. “Kau jangan membangkang kepada Muhammad. Lakukan saja apa yang diinginkannya. Engkau juga harus mengamatinya sepanjang perjalanan. Ketika pulang, laporkan apa yang engkau lihat kepadaku,” bisik Khadijah.

 

Tibalah waktunya, kafilah dagang Muhammad berangkat. Hampir seluruh sanak saudara Muhammad berkumpul dalam rangka melepas keberangkatannya. Perjalanan itu akan Panjang. Itu artinya mereka hanya akan dapat berjumpa dengan Muhammad dalam waktu yang cukup lama. Muhammad dan Maisarah kemudian bertolak dalam sebuah kafilah menuju Syam. Hari berganti hari. Siang berganti malam mengiringi perjalanan. Maisarah melakukan apa pun agar Muhammad merasa nyaman.

 

Kafilah dagang mereka tiba di Basra, tidak jauh dari Syam tepat pada bulan ketiga. Rupanya sedang ada perhelatan perayaan besar berlansung. Lapak permadani para musafir pun digelar untuk memajang barang dagangannya. Muhammad melepas lelah di bawah pohon besar, tidak jauh dari kuil seorang rahib.

 

Dari kejahuan tanpa sepengetahuan Muhammad, Nasthura, seorang pendeta, mengamati gerak-gerik Muhammad. Ia kemudian menghampiri Maisarah, “Siapa yang berteduh di bawah pohon itu?” tanya Nasthura.

 

“Orang Quraisy dari Makkah,” jawab Maisarah.

 

“Tidak seorang pun berteduh di bawah pohon itu, melainkan dia seorang Nabi,” kata Nasthura. Maisarah tercengang mendengarnya. Belum habis rasa terkejut Maisarah, Nasthura kembali mengulanginya. “Ia adalah Nabi Terakhir.” Perasaan Maisarah campur aduk: gembira, senang, terkejut, dan gelisah. Sebuah rahasia besar berada dalam genggamannya. Ia merasa beruntung dapat mendampingi seorang pemuda yang kelak akan menjadi Nabi.

 

Perjalanan dilanjutkan, Muhammad dan kafilahnya akhirnya tiba di Syam. Beliau menjual barang dagangan yang dibawanya, dan membeli produk Syam untuk dijual kembali  di Makkah. Setelah empat tahun di Syam, kafilah dagang itu bergegas kembali ke Makkah.

 

Cuaca siang hari begitu terik. Cuaca panas seakan memanggang rombongan. Kulit kepala mereka terbakar. Sekujur tubuh basah oleh keringat. Mereka tak kuasa menahan panggangan matahari. Saat itulah Maisarah menyaksikan mukjizat.

 

Segumpal awan terus menaungi Muhammad dan rombongan, ke mana pun mereka bergerak. Awan itu terus berarak meneduhi Muhammad sepanjang perjalanan, seolah diperintahkan untuk mengikutinya. Hanya Maisarah yang melihat keajaiban itu. Para musafir lainnya tidak ada yang tahu. Pemandangan menakjubkan itu membuat Maisarah kian yakin dengan apa yang diucapkan pendeta Nasthura bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir yang akan diutus oleh Tuhan.

 

Setibanya di Makkah, Muhammad lansung menuju kediaman Khadijah. Sesampainya di sana, ia menyedorkan modal dan keuntungan kepada Khadijah. Kemudian Muhammad menjual barang dagangan yang beliau beli di Syam. Muhammad mendapatkan keuntungan lebih atas perniagaan itu. Khadijah terlihat senang dan gembira dengan usaha Muhammad muda. Tidak sia-sia ia memberikan kepercayaan kepada Muhammad.

 

Muhammad segera kembali ke rumahnya. Saat itulah Maisarah menuturkan kepada Khadijah beragam peristiwa yang terjadi selama mendampingi Muhammad berdagang. Maisarah mengisahkan pertemuannya dengan seorang pendeta dan apa yang dikatakan sang pendeta tentang Muhammad. Dia menuturkan pula tentang awan yang menaungi Muhammad selama dalam perjalanan. Khadijah mendengarkannya dengan penuh perhatian seolah ia tak ingin melewatkan sedikit pun informasi tentang Muhammad.

Baca Juga :  ULAR

 

Al-amin, sebuah julukan yang disematkan oleh penduduk kota Makkah kepada Muhammad muda. Mereka kerap memanggilnya dengan gelar Al-Amiin: orang yang dapat dipercaya. Al-Amiin juga berarti “selalu dicintai dan dihormati”, dan “orang yang selalu memiliki sesuatu yang baik”.

 

Julukan itu diberikan karena kepribadian Muhammad yang luhur. Ia tidak pernah berbohong, berdusta, dan berkhianat. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya berisi kebenaran. Di mana-mana, penduduk Makkah seperti tidak pernah absen memperbincangkannya.

 

Demikianlah penggalan episode hidup Muhammad muda yang tertulis dengan tinta emas sejarah peradaban manusia dan dengan sederet pengalaman itu, Muhammad tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Pribadi yang tidak mengenal kosa kata menyerah dalam kamus kehidupannya. Pribadi yang kuat yang selalu siap mengambil keputusan pada saat-saat sulit.

 

Sebuah bukti, ketika sang paman bangkrut, Muhammad tidak lantas patah arang. Malah sebaliknya, dengan sigap ia segera mengambil keputusan. Mencari alternatif atas kebangkrutan sang paman hingga ia menemukan solusi untuk melakukan perdagangan keliling sendiri. Dengan bekal pengalaman dan keterampilannya dalam berdagang, ia pun mulai menawarkan jasa untuk menjualkan barang dagangan para saudagar kaya di kota Makkah saat itu.

 

Demikianlah, sebuah kisah perjalanan hidup yang dipentaskan di atas panggung episode   kehidupan sang tokoh panutan umat manusia, sepenggal pentas episode kehidupan yang menyimpan pelajaran luar biasa. Kemudian Al-Ustadz Abdullah Said mengambil hikmah dan menjadikan spirit dalam merintis Hidayatullah, tentang bagaimana mengantar anak didik agar memiliki jiwa entrepreneur, tidak tergantung pada uluran tangan masyarakat bila kelak bertugas di daerah-daerah. Untuk itu harus dibekali berbagai keterampilan yang dapat menjadi sumber maisyahnya.

 

Para santri dididik agar nantinya bukan mereka yang dibantu masyarakat, melainkan merekalah yang memberi kontribusi kepada umat. Hanya dengan cara itu, dakwah dan tarbiyah para santri akan lebih menggigit, suaranya tidak tersendat akibat rasa berutang budi kepada masyarakat. Santri diberi amanah memegang berbagai macam usaha.

 

Memang masih dalam skala kecil dan sederhana, tapi di sinilah para santri dilatih membuka usaha dan memegang amanah. Proyek-proyek ini dimodali oleh Pesantren. Misalnya ada proyek penanaman pohon kelapa, kemiri, pisang, tanaman lindung, perikanan, pertukangan kayu/batu, perbengkelan, dan sebagainya. Kepala-kepala proyek harus memberi laporan setiap hari Jumat pagi.

 

Anak-anak santri diikutkan kepada orang-orang tua dalam kelompok tani yang melakukan penanaman sayur. Mereka juga menjualnya. Uang yang diperoleh dari hasil penjualan itu dipakai untuk keperluan hidupnya. Yang terpenting, anak-anak mampu menyelami dunia dagang, terutama bagaimana praktek tengkulak yang kerapkali merugikan petani.

 

Berbagai macam pelatihan juga terus-menerus diadakan, bekerja sama dengan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ada keterampilan membuat mebel, otomotif, perbengkelan, instalasi listik, dan sebagainya. Para santri juga membuat berbagai jenis kerajinan tangan seperti gantungan kunci, melukis kaligrafi, menyulam, menjahit pakaian, dan lain-lain.

 

Produk home industry ini dipasarkan ke luar dan cukup laku. Bekal keterampilan seperti di atas kelak amat membantu ketika berkiprah di tengah masyarakat. Di samping lihai ceramah, para santri juga terampil. Mereka kian percaya diri dan tidak keder mengemban amanah dakwah.

 

Ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari penggalan risalah nubuwwah ini diantaranya:

 

1. Bukti kesempurnaan risalah nubuwwah bagi alam semesta, syariatnya menganjurkan kepada umatnya agar bekerja dan berbisnis dengan jalan yang benar dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena tiada suatu perkara pun yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya melainkan perkara tersebut akan mendatangkan bencana dan mudharat bagi para pelakunya.

 

2. Berdagang merupakan salah satu profesi nubuwwah yang sangat mulia dan utama selagi dijalankan dengan jujur dan sesuai dengan aturan serta tidak melanggar batas-batas syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam Alquran dan As-Sunnah Ash-Shahihah.

 

3. Hendaknya seorang entrepreneur membekali dirinya dengan bekal keimanan dan ilmu syariat, khususnya yang berkaitan dengan fikih muamalah dan bisnis agar bisa menjadi entrepreneur yang baik dan benar serta tidak terjerumus dalam hal-hal yang haram.

 

4. Hendaknya seorang entrepreneur menghiasi dirinya dengan akhlak Islami yang mulia seperti jujur, pemurah, amanah, kasih sayang, dan lain sebagainya, sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

 

5. Seorang entrepreneur hendaknya melandasi bisnis dan perniagaannya dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, agar profesi yang dijalankannya mendatangkan pahala dan keridhoan dari Allah SWT karena bernilai ibadah yang agung.

 

6. Penghasilan yang diperoleh dari perniagaan dan pekerjaan lainnya akan mengandung berkah dan manfaat yang banyak jika diperoleh dengan jalan yang baik dan benar serta diinfaqkan dan dikeluarkan zakatnya (jika telah terpenuhi syarat wajib zakat) dan diinfaqkan di jalan yang Allah ridhoi.

 

7. Bisnis dan profesi apapun beserta keuntungannya akan menjadi musibah dan petaka bagi pelakunya di dalam kehidupan dunia dan akhirat jika dilakukan dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Apalagi di sana terdapat beberapa hadis dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunjukkan celaan bagi sebagian para pedagang atau pelaku bisnis. Di dalam hadis yang sahih, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya para pedagang (pengusaha) akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai para penjahat kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur.” (HR. Tirmidzi, Kitab Al-Buyu’ Bab Ma Ja-a Fi At-Tujjar no.1131). Wallahualam.

 

Referensi:

 

1. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. 2005. Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan   Sumber-sumber yang Otentik. Jakarta: Qisthi Press.

 

2. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. 2001. Ar-Rahiq al-Makthum. Darussalam.

 

3. Ahmad Hatta, dkk. 2011. The Story of Muhammad SAW, Referensi Lengkap Hidup Rasulullah SAW dari sebelum Kelahiran hingga Detik-detik Terakhir. Jakarta: Magfirah Pustaka.

 

4. Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din). 1991. Terjemahan dari; Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. United Kingdom: The Islamic Texts Society.

 

5. Abdul Mannan. 2016. Era Peradaban Baru. Surabaya: Lentera Optima Pustaka.

 

6. Mansur Salbu. 2009. Mencetak Kader; Perjalanan Hidup Ustadz Abdullah Said, Pendiri Hidayatullah. Surabaya: Suara Hidayatullah Publishing.

 

7.  Munir ‘Ustadz Rich’ Alhasyir dan Laode Masihu Kamaluddin. 2013. Rasulullah’s Business School. Semarang: Penerbit Daqu Media.

 

8.    Wikipedia.org

 

*Irfan Yahya, adalah penulis esai pemula yang sedang tekun belajar di Akademi Menulis. Merupakan kandidat doktor bidang Sosiologi, khususnya Sosiologi Pengetahuan di Sekolah Pasca UNHAS Makassar. Hampir separuh hidupnya, sejak kuliah S1 sampai sekarang ia habiskan untuk terlibat aktif dalam gerakan membangun masyarakat sebagai Community Organizer. Saat ini ia memilih meleburkan diri ke Hidayatullah, sebuah Ormas yang menjadikan Dakwah dan Tarbiyah sebagai fokus gerakannya dengan mengusung visi besar membangun Peradaban Islam. (*)